Minggu, 06 Desember 2020

Doa Tuan Brokoli

 


Tuan Brokoli, penghuni terlama di kulkas milik keluarga Roni. Dia sedih karena tak diinginkan oleh Roni. Menurut Roni, dia bau.

 

Suatu malam, sebuah mangkuk berisi adonan tepung terigu memasuki kulkas.

 

"Hai, Nona Mangkuk. Kau pasti disiapkan untuk menggoreng tempe ya?"

 

Nona Mangkuk tersenyum, "Belum tentu Tuan Brokoli. Karena aku tidak mendengar Mama menyebut nama Tempe."

 

Dalam hati, Tuan Brokoli berdoa, Semoga kali ini dirinyalah yang akan dimasak.

 

Tuan Brokoli sangat ingin membantu Roni memperbaiki gizi dan menjaga staminanya agar tetap sehat. Tuan Brokoli sedih, setiap kali Mama menawarkan akan memasak dirinya, Roni selalu teriak tidak mau.

 

Besok paginya. Mama mengeluarkan Nona Mangkuk dan Tuan Brokoli dari dalam kulkas.

 

"Nah, kan. Akhirnya kau dikeluarkan juga Tuan Brokoli," ucap Nona Mangkuk.

 

Tuan Brokoli tampak tersenyum senang sekaligus heran, "Tapi, mau diapakan, ya, aku? Apa hubungannya denganmu Nona Mangkuk."

 

Nona Mangkuk sebenarnya bisa menebak. Namun, dia sengaja tidak menjawabnya, biar Tuan Brokoli tahu sendiri.

 

"Bagaimana kalau Roni tetap tidak menyukai bauku, Nona Mangkuk?" tanya Tuan Brokoli ketakutan.

 

"Tenang saja, Tuan Brokoli." Nona Mangkuk berusaha meyakinkan, "Mama orang yang kreatif."

 

Tak lama kemudian, Mama mulai mencuci Tuan Brokoli.

“Yeay, akhirnya aku bebas!” teriakkan gembira Tuan Brokoli menyisakan senyum saat mama mulai membelahnya menjadi empat bagian. 

 

 

Nona Mangkuk tersenyum pada Tuan Brokoli, saat Mama memasukkan potongan sayuran berwarna hijau itu diaduk bersama adonan tepung dalam dirinya.

 

Saat Tuan Brokoli sudah mulai diceburkan dalam minyak panas, terdengar suara Roni.

 

"Wah, harum sekali, Ma. Pasti lezat."

 

Mama tersenyum dan tak lama kemudian, segera menghidangkan Tuan Brokoli yang kini sudah berubah   menjadi Fried Broccoli Crispy.

 

"Bismillah." Roni mulai memasukkan potongan brokoli yang sudah agak dingin, ke dalam mulutnya.

 

"Wah, ternyata benar-benar lezat ya, Ma."

 

Nona Mangkuk senang mendengar pujian Roni. Apalagi, Roni meminta Mama membawakan fried broccoli crispy sebagai bekal ke sekolah.

 

“Tuan Brokoli, doamu terkabul.” 

Jumat, 23 Oktober 2020

Misteri Pensil Amira



Hari ini, Amira berangkat dengan riang gembira. Bersenandung sepanjang jalan. Bahkan saat masuk kelas, gadis kelas 3 SD ini menebar senyum. Padahal, biasanya Amira  terlihat murung. Bila berjalan sering menunduk dan jarang tersenyum. Shinta keheranan melihat perilaku Amira. Tapi, ia pun malas menegurnya.

Saat pelajaran dimulai, Shinta melirik ke arah Amira. Ia penasaran. Biasanya saat pelajaran akan dimulai, Amira akan meminjam alat tulis miliknya. Kali ini tidak.

Saat Amira mengeluarkan alat tulis, Shinta kaget melihatnya.

"Amira, dari mana kau memperoleh pensil dan buku tulis yang cantik itu?" tanya Shinta penasaran

"Ibuku yang memberikannya."

Shinta terus saja memandang takjub ke arah buku dan pensil milik Amira. Pensil Amira memiliki badan boneka, dengan baju batik dan rambut dari woll yang dikepang dua. Buku tulisnya memiliki jahitan pita di pinggirnya dengan cover aneka potongan kain yg indah.

Pulang sekolah, Shinta langsung menuju dapur menemui Bi Sari.

"Bi Sari, Bibi membelikan buku dan pensil Amira di mana?" 

Shinta langsung memberondong Bi Sari dengan pertanyaan. Amira adalah anak Bi Sari, asisten rumah tangga keluarga Shinta yang telah bekerja sejak ia dilahirkan.

"Pensil dan buku baru, Non? Saya tidak membelikan apa-apa untuk Amira."
“Oooh ....” Shinta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memangnya kenapa, Non?” kini Bibi Amira yang penasaran.
“Tidak apa-apa, Bi. Ya sudah, aku ke atas dulu ya, Bi.”

Shinta tak bertanya lebih lanjut. Ia bergegas masuk kamar, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamarnya.

"Kalau Bi Sari tidak membelikan Amira buku dan pensil cantik itu, dari mana dia memperolehnya? Apakah Amira mencuri? Ya pasti mencuri! Tapi punya siapa?" 

Shinta terus saja memikirkan Amira, sampai matanya terpejam.

Keesokan harinya, Shinta datang lebih pagi. Ia menunggu teman-temannya. Gadis cantik keturunan Padang Sunda ini, akan mengintrogasi mereka satu persatu.

Ketika Sabila datang, Shinta langsung menghampirinya.

"Bil, kamu kehilangan pensil dan buku tulis tidak?"

"Tidak. Memangnya kenapa?" Sabila heran mendapat pertanyaan dari Shinta.

"Oh, nggak apa-apa. Ya sudah."

Shinta menunggu temannya yang lain.

"Dona, apakah kamu kehilangan pensil dan buku?"

"Tidak. Memangnya kenapa?" Dona pun dibuat terkejut oleh Shinta.

"Hahahaaaa, tidak apa-apa. Cuma iseng tanya aja."

Shinta terus bertanya kebeberapa temannya lagi. Milki, Kasep, Joana, Fauziah, Azizah dan Ikhwan. Semua menjawab tidak kehilangan pensil atau bukunya.

Shinta segera kembali ke tempat duduknya. Ia masih penasaran. Maka, ketika Amira datang Shinta langsung bertanya.

"Amira, kemarin aku sudah bertanya pada Bi Sari. Katanya, Bibi tidak membelikan kamu pensil atau buku baru. Kalau bukan ibumu lantas siapa yang membelikannya?"

"Pensil ini?" Kali ini Amira mengeluarkan pensil boneka berbaju warna pink dengan rambut pendek.

"Iya, cantik sekali."

"Ibuku yang memberikannya." 

"Tapiii ..." 

Belum selesai Shinta melanjutkan bicaranya, Amira segera memotong pembicaraannya.

"Kamu ingat? Seminggu yang lalu kamu membuang beberapa pensil, buku dan pakaian."

"Heem, iya. Apa hubungannya?" Dahi Shinta mengkerut, tanda ia bingung.

"Nah! Dengan izin Ibumu, Ibuku mengambil barang-barang yang kau buang. Lalu mendaur ulang pensil-pensil dan buku-bukumu menggunakan kain dari baju bekasmu."

"Wah, cantiknya. Tapi kan pensil yang aku buang sudah pendek, bagaimana bisa setinggi ini?"

"Ibuku menyambungnya dengan ranting pohon jambu biji yang ada di depan rumah kami, lalu menutupnya menggunakan kain dari baju bekas dan membentuknya menjadi boneka. Kamu mau?" Amira mengeluarkan beberapa pensil miliknya.

"Tidak. Aku mau diajarkan cara membuatnya saja."

"Baiklah, nanti pulang sekolah kita buat bersama." 

" Maafkan aku ya Amira. Aku sempat menyangka kamu mencuri."

"Astaghfirulloh. Mana mungkin aku mencuri. Itu perbuatan yang tidak baik."

"Makanya, mau kan kamu memaafkan aku dan mengajarkan aku membuat pensil dan buku  cantik?" Pinta Shinta dengan disertai rasa sesal. 

"Tentu saja."

Shinta mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Amira. Mereka berjanji, sepulang sekolah akan membuat pensil dan buku cantik bersama di rumah Shinta.

#semangatbelajar
#belajarmenulis
#menulisceritaanak

Kasih yang Terluka

 


Anak dalam pernikahan, ibarat perekat kasih antar pasangan. Ia seumpama oase di gurun dan bukti kesempurnaan bagi seorang wanita.

12 tahun sudah, Firly dan Arya mengucap janji setia di hadapan penghulu. Berjuta tanya telah mampir dalam kehidupan mereka, tentang anak yang belum juga hadir.

Firly dan Arya telah memasrahkan semua pada Allah Sang Pemilik Hidup. Semua usaha telah mereka lakukan, dari pengobatan medis hingga minuman herbal, urut tradisional, dan bekam. 

Mereka yakin pasti ada maksud dari belum hadirnya buah hati.


###


"Aku sudah besar! Ummiku aja dulu nggak pernah ngatur aku sampe kayak gini!" 

Tiba-tiba, napas Firly tersentak. Kedua alisnya saling bertautan, matanya ssdikit disipitkan, dan bibirnya setengah terbuka. Ia tidak percaya, gadis belia di hadapannya mampu berkata seperti itu. Firly tak pernah  mendapati perlakuan seperti itu dalam keluarga. Tak ada yang berani bersuara saat orang tua tengah memberi nasehat, apalagi meninggikan suara.

Diana, keponakan dari Arya, yang baru saja menjadi yatim piatu dalam waktu satu tahun, kini hidup bersamanya. Ibunya Diana adalah kakak kandung Arya. Sebelum meninggal, karena kanker lambung, sempat menitipkan anaknya untuk diasuh bersama Firly. 

Firly sangat senang menyambut kehadiran gadis berusia 16 tahun itu. Benaknya sudah dipenuhi dengan keindahan memiliki anak. Firly berpikir, inilah alasan kenapa Allah belum memberinya keturunan.

Kemanjaan gadis berkulit putih itu sudah Firly ketahui sebelumnya, sejak ia masuk dalam keluarga besar Arya. Firly juga tahu, gadis berambut ikal itu sebenarnya enggan untuk tinggal di rumahnya, karena kondisi rumah yang jauh dari bagus. Dinding batako tanpa kulit, atap tanpa plafon, dan jauh dari keramaian.

Maka, ketika Diana mulai tinggal di rumahnya, wanita berusia 34 tahun itu menerapkan beberapa aturan ketat di antaranya: 

¤ Berangkat sekolah on time pukul 06.00. 

¤ Setiap pulang sekolah harus izin jika ingin pergi ke mana pun.

¤ Jika pergi ke rumah teman atau mana pun, harus tiba di rumah sebelum maghrib.

¤ Setiap hari minggu harus bangun pagi dan membantu pekerjaan rumah. 

¤ Keluar rumah meski depan pintu, wajib memakai kerudung.

Firly yang terlalu gembira, dan mengira gadis cantik itu, akan menuruti aturannya tanpa mempertimbangkan psikologisnya, kecewa dengan kenyataan yang dihadapi.


Suatu hari.

Firly menendang pintu kamar Diana, saat penghuninya terlelap. Padahal sedari subuh, sudah dibangunkan sampai pukul 09.00 belum juga beranjak dari kasur.

"Weisss!" 

Hanya ucapan itu yang keluar dari bibir ranum gadis yang telah duduk di kelas X itu. 

Tanpa basa-basi, Diana bergegas mandi. Saat sedang berpakaian, seorang temannya datang menjemput. Dan Diana pun pergi tanpa pamit.

Firly merasakan sesak, setiap kali Diana melawan perintahnya. Firly tak pernah bisa memahami Diana. Seusianya dulu, Firly tak pernah berani melawan orang yang lebih tua, meski itu hanya tatapan mata. 

Di mata Firly, Diana selalu salah. Semakin Diana melawan, semakin keras Firly mengekang. Firly merasa, Diana miliknya, jadi mau tidak mau harus menuruti setiap kata-katanya. 


###


"Kalau kamu mau menginap di sana terus, bawain aja semua bajumu sekalian dan nggak usah balik lagi ke rumah tante!" Firly mengeluarkan ancaman melalui telepon seluler, saat meminta Diana pulang. 

Diana menginap di rumah saudara yang lain, tanpa izin sampai beberapa hari dan enggan disuruh pulang. Padahal Firly ingin, saat libur Diana ada di rumah, dan mau merapikan kamar yang ia tinggalkan dalam keadaan berantakan. Bagaimana Firly bisa mengajarkan ketrampilan mengurus rumah, jika setiap libur Diana selalu punya alasan untuk keluar. Karenanya, Firly mengeluarkan ancaman yang ia sesali seumur hidup.

Ancaman itu ia sampaikan ke Arya juga saudara yang lain, tanpa tanggapan. Firly yakin, Diana akan takut dan segera pulang.

 

###


Siang itu, Firly baru saja pulang mengajar, ia mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Ia mendengar sebuah motor berhenti di depan rumahnya. Diana muncul dan langsung menuju kamar, tanpa memberi salam, kemudian langsung mengepak semua pakaiannya. 

Dada Firly bergemuruh, jantungnya berdetak tak berirama, otot netranya menegang menahan derai yang hampir jebol. Pikirannya tak menentu menebak adegan selanjutnya yang akan dilakukan Diana. Dengan jemari bergetar, Firly menghubungi Arya, menceritakan perihal drama nyata yang sedang berlangsung.


"Biar aja, Say. Dia sudah besar, kalau sudah tidak mau diatur, biarkan semaunya." 


Hanya jawaban itu yang ia dapat. Firly semakin panik, ia takut kehilangan. Ia tak menyangka ancamannya dijawab dengan tindakan seperti ini. 


"Ini kan yang Tante mau?" tantang Diana garang, saat merebut tas miliknya yang diambil Firly, untuk mencegahnya pergi. 


Firly tak mampu menguasai gemuruh dan isak yang tertahan. Ia hanya mematung, saat Diana pergi bersama teman yang menungguinya di luar.


###


"Lepaskan dia, Bu. Biarkan dia merasakan kasih Ibu yang belum ia mengerti. Jika Ibu terlalu menggenggamnya, bukan hanya dia yang terluka, tapi, Ibu juga." Suara lembut sang guru BP menenangkan wanita beraksen betawi itu, saat mencari warta tentang Diana di sekolahnya. 

Meski kabur, Diana tetap sekolah. Firly berharap pihak sekolah mau menjembataninya untuk meminta Diana pulang. 

"Maaf, saya tidak dapat memenuhi keinginan Ibu. Saya khawatir akan terjadi keributan di sini. Karena sebagai guru BP sekaligus wali kelasnya, saya paham watak kerasnya Diana. Saya paham, Ibu sangat menyayanginya. Tapi Diana bukan anak seperti pada zaman kita dahulu, yang takut dengan ancaman dan kekangan. Ia justru akan semakin berontak jika kita mengekangnya." Bu Rossi menarik napas panjang. 

"Saran saya, biarkan dia di rumah temannya dulu, dengan tenang. Kami akan terus memantau melalui teman-teman OSISnya. Dan Ibu cukup mendatangi saya, jika ingin mengetahui kabar tentang Diana." Panjang lebar wanita bersahaja itu menjelaskan, sekaligus menenangkan Firly.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Firly baru menyadari kesalahannya yang  otoriter, ia mengesampingkan fakta bahwa Diana sudah besar, sudah punya karakter sendiri. Diana bukan produk zaman dahulu, yang takut dengan orang tua. Dan fakta yang paling ia abaikan adalah, dirinya bukan sesiapa Diana, hanya istri dari omnya, yang barang tentu ikatan batinnya tidak  kuat. 

Meski saudara dari pihak Arya tidak ada yang menyalahkannya, karena tahu persis bagaimana watak keras dan manjanya Diana yang selalu ditaburi kenyamanan saat ummi dan ayahnya masih hidup, Firly selalu menyesali perbuatannya. Seharusnya sebagai seorang guru ia bisa lebih menyelami karakter Diana. Seharusnya sebagai seorang daiyah, ia bisa lebih lembut menasehati Diana.

"Sudahlah, jangan nangis terus. Yang penting kita tahu dia baik-baik saja. Dan jangan lupa untuk selalu mendoakan kebaikan untuk dia." Arya hanya mampu membelai dan menasehati Firly, setiap istrinya itu membicarakan kabar yang ia terima dari pihak sekolah dan teman-temannya, sambil terisak.

Satu bulan berselang sejak kepergian Diana, Firly mendapat kabar bahwa kini Diana tinggal bersama sepupunya. Hatinya menjadi lebih tenang. Karena sekarang berarti, Diana sudah dapat makan teratur. Tidak seperti kabar sebelumnya yang ia terima dari teman Diana.

"Diana sekarang makin pucat, Tante, jarang makan," jelas Tini, teman satu kelasnya saat Firly menyambangi rumahnya.

"Gitu ya? Kalo gitu tante titip uang ini sama kamu, buat traktirin Diana jajan. Jangan bilang itu dari tante, pasti Diana nggak akan terima." Begitulah, Firly terus berupaya mencari tahu keadaan Diana.

Firly hanya mampu bertanya kabar ke teman dan pihak sekolah, saat membayar uang sekolah Diana.  Karena dirinya dilarang bertemu fisik dengan gadis yang sangat ia cintai, meski bukan darah dagingnya. Khawatir Diana akan memberikan reaksi negatif, yang akan membawa dampak buruk bagi dirinya, Diana, dan pihak sekolah.

Harapan, semoga diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan, selalu Firly langitkan. Semoga ia dapat mencintai dan dicintai Diana dengan tulus, meski tanpa panggilan IBU.




Rabu, 14 Oktober 2020

Pengalaman Pertama Weky

 




Dua hari setelah menetas, Ibu Beky si bebek, segera membawa anak-anaknya berpetualang di sekitar kandang.

Karena pengalaman pertama, meski hanya mengelilingi daerah sekitar, Ibu Beky berpesan pada anak-anaknya. 

"Ingat! Selalu berbaris yang rapi di belakang Ibu, ya! Jangan ada yang berpencar!” Ibu Beky takut anak-anaknya tersesat.

"Wek, wek, weeek ..., siap, Bu." jawab anak-anak bebek serentak.

Maka mulailah, mereka berpetualang. Di taman rumput samping kandang, mereka diajarkan untuk mematuk rumput muda, kuncup bunga rumput dan biji-bijian yang tersebar.

Weky si sulung sangat antusias ketika tidak sengaja kakinya menyentuh rumput yang unik. Daun rumput itu menguncup dengan sendirinya, saat Weky menyentuhnya. Rumput itu memiliki bunga yang berbentuk bulat, halus seperti bulunya dan berwarna merah muda.

"Cantiknya," puji Weky.

"Ini namanya, putri malu. Berhati-hatilah dengan tanaman ini, karna dia memiliki duri di sepanjang batangnya," Ibu Beky mengangkat dahan putri malu yang menjalar di tanah, dengan paruhnya. "lihatlah."

"Oooh ... Apakah bisa dimakan, Bu?" Tanya Ceky.

"Sebaiknya cari biji-bijian saja," jawab Ibu Beky lembut.

Setelah mengenali beberapa jenis rumput, mereka menuju kolam.

"Ibu, aku takut. Aku tak bisa berjalan di atas air," ucap Sely, anak bebek termuda, ketakutan.

"Kita tidak berjalan di atas air, Sayang. Tapi, berenang," kata Ibu Beky menenangkan Sely. "Tuhan sudah menganugerahi kita bulu yang ringan serta mengandung lemak, juga selaput pada kaki. Sehingga kita pasti akan langsung dapat berenang."

“Tapi aku takut nanti bulu-buluku basah, Bu!” ucap Sely. “Nanti aku kedinginan.”

Ibu Beky tersenyum. “Tidak usah takut, Sely! Bulu kita mengandung kelenjar minyak, yang membuat air tidak bisa meresap ke bulu kita. Kelenjar minyak ini juga yang membuat kita hangat pada saat udara sedang dingin.”

Mendengar penjelasan dari ibunya, Sely menjadi berani, bahkan dia terjun pertama ke kolam.

"Kwek, kwek.  Yeay!  Aku bisa berenang," sorak Sely kegirangan. Sayapnya  dia kepak-kepakkan di air, sehingga air terciprat ke sekelilingnya.

Weky dan Ceky pun akhirnya terjun, disusul Ibu Beky.

Ketika berenang, mereka menjumpai hewan lain yang hidup di dalam air.

"Hai, Ibu Beky. Selamat ya, akhirnya telur-telurmu menetas juga," sapa Goldy Si Ikan Mas.

"Terima kasih Goldy. Perkenalkan ini, Weky, Ceky dan Sely." Ibu Beky menunjuk pada masing-masing anaknya. "Ayo anak-anak, beri salam pada Tuan Goldy, sahabat Ibu."

"Selamat pagi, Tuan Goldy."

"Selamat pagi, anak-anak. Selamat bersenang-senang," ucap Tuan Goldy, melambaikan salah satu siripnya. Lalu kembali menyelam.

Ibu Beky meminta anak-anak untuk melanjutkan perjalanan, menyeberangi kolam.

Saat asyik berenang, sambil sesekali mencelupkan kepala ke dalam air, Weky melihat bayangan hewan terbang di permukaan air. Kemudian dia arahkan pandangannya ke atas.

"Wah, cantiknya," puji Weky pada hewan yang memiliki dua pasang sayap, ekor panjang dan kepala yang bermata besar. Sesekali, hewan itu juga hinggap di air, lalu terbang kembali dan hinggap di rerumputan sekitar kolam.

Rasa penasaran, membuat Weky melupakan pesan ibunya. Dia keluar dari barisan, mengejar hewan lucu nan cantik itu terbang, ke arah lain dari sisi kolam.

"Wah, ternyata banyak." Weky malah asyik bermain bersama para hewan udara itu. Ada yang berwarna merah, hijau kehitam-hitaman dan kuning kehijau-hijaun. Mereka unik, karena ada yang baru muncul dalam air.

Weky tidak sadar, kalau ibunya kehilangan dia. Sampai akhirnya, Tuan Goldy muncul dan memperingatinya.

"Weky, Ibu Beky mencarimu di seberang kolam," tegur Tuan Goldy.

"Ya, ampun. Aku lupa dengan pesan Ibu." Weky, bergegas meninggalkan teman-teman barunya. Dia berenang menuju Ibu dan adik-adiknya yang ternyata telah menunggu di seberang kolam.

"Weky, untunglah kolam ini tidak terlalu besar, sehingga Ibu tetap bisa melihatmu dari sini. Bagaimana kalau ini terjadi di luar lingkungan kita?"

Weky, menyadari kesalahannya. Ia hanya tertunduk tak berani menatap ibunya.

"Maafkan Weky, Bu," ucapnya lirih.

"Iya, Ibu maafkan." Ibu Beky membelai kepala Weky dengan sayap kanannya. "Apa kau lihat, hingga membuatmu tadi berpisah dari barisan?"

Weky lantas menceritakan pertemuannya dengan teman barunya.

"Ibu, bisakah Ibu membawa kami kembali ke kolam? Aku ingin berkenalan juga dengan temannya Kak Weky," bujuk Ceky pada Ibunya, karena penasaran mendengar penuturan Weky.

"Baiklah, mari!" Ibu Beky memimpin barisan.

"Ooh, ini namanya capung. Mereka memang menetas dan hidup di air, saat masih anak-anak. Setelah dewasa mereka memiliki sayap dan terbang," kata Ibu Beky, ketika sampai di tempat yang ditunjukkan oleh Weky.

Setelah berkenalan dengan beberapa capung, Ibu Beky mengajak semua anak bebek untuk kembali ke kandang. Karena hari sudah siang.

"Ibu, besok kita berpetualang lagi, 'kan?" tanya Weky bersemangat.

"Tentu, kita akan berpetualang ke tempat yang lebih jauh. Asal, kau berjanji tidak akan keluar barisan tanpa izin, apa pun yang kau lihat, Weky."

"Kwek, siap Bu.” Jawab Weky.

Hari ini semua anak bebek mendapatkan pengalaman pertama yang menyenangkan.

 

 

 

Sabtu, 18 Juli 2020

Curhatan Emak-emak Rese

Sejak masa Pandemi dimulai, sekitar akhir Maret 2020, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah aja. Seperti yang dianjurkan pemerintah. 

Anjuran pemerintah untuk di rumah aja, sepertinya tidak digubris oleh anak-anak dilingkungan tempat tinggalku. Hampir setiap waktu, pagi, siang, dan sore, kudengar teriakan, suara grebak-grubuk beberapa langkah mungil, kadang disertai tangisan, dan umpatan yang menghias lari mereka. Anjir! Tai, lu! Adalah dua kata wajib, sepertinya, dalam umpatan mereka. Duh! Ngeri dengernya.  😥

Sesekali aku keluar dan bertanya ringan, meski sudah tahu apa yang sedang mereka lalukan. 

"Bang, ngejar apaan, sih?" kebiasaanku adalah memanggil mereka dengan sebutan Bang atau Mas, sebagai bentuk penghormatan meski usia mereka masih kisaran 6 - 12 tahun.

Mereka kompak menjawab, "layangan, Bu."

"Nggak takut Corona, ya?" ku lanjutkan pertanyaan yang mungkin dianggap rese sama mereka.

"Takut mah sama Allah, Bu." Begitu jawaban salah satu dari mereka yang badannya agak besar.

Eh, betul sih, takut mah harusnya sama Allah, ya.  😁

Di lain kesempatan, pernah pagi sekali, selepas subuh, mereka berkumpul di pos jaga, kebetulan rumahku berdekatan dengan pos jaga. Dari 10 anak yang berkumpul, 8 di antaranya memegang hp. Mereka berteriak sambil mengumpat seolah sedang memaki. Suaranya gelegar, menembus dinding kamar. Karena aku tahu, tetangga samping rumah sedang sakit, kuputuskan menemui sebelum ada orang yang memarahi mereka.

"Wih, seru banget, pagi-pagi udah ngumpul di sini. Udah pada solat subuh, belum?" ku awali percakapan dengan pertanyaan.

"Udah Bu." Beberapa anak menjawab kompak, lainnya hanya menatap hp dan acuh terhadap kehadiranku.

"Pada bawa hp, diizinan Mamah emangnya?" lagi, pertanyaan nggak penting yang kayaknya bikin mereka terusik.

"Ini mah, hp saya sendiri Bu." Seorang bocah yang kutaksir baru berusia 8 tahun, menjawab tanpa menoleh. Yang lain, jangan ditanya reaksinya. 

"Faiz sama Fatih, nggak bawa hp?"

"Nggak punya, Bu," jawab Faiz.

"Nggak boleh bawa sama Bunda, Bu," Fatih memberi jawaban yang hampir persamaan dengan Faiz.

Aku fokus pada Faiz dan Fatih. Karena yang lain memberi reaksi dengan membalikkan badan, isyarat tidak ingin diganggu.

"Bu Nia punya buku baru, lho. Bagus deh. Mau lihat nggak?"

"Mau!" Serentak mereka menjawab. 

Aku bisa menebak pasti mereka akan merespon demikian, karena mereka adalah pengunjung setia taman baca yang aku dirikan setahun lalu. Sejak Corona melanda dunia, taman baca ku pun vakum.

"Tunggu di sini, ya."

Beberapa menit kemudian, beberapa buku sudah tergelar di bagian kanan Pos Jaga. Fais dan Fatih langsung antusias memainkan buku Wow Amazing Series. 

Keseruan Fatih dan Faiz membentuk puzzle dari cover belakang buku, sedikit menarik perhatian beberapa anak yang asyik ber-hp.

"Apaan, sih?" Seorang yang belum aku kenal namanya menghampiri.

"Ris, mainan buku, nih." Fatih langsung melambaikan tangan.

"Wuih, keren! Buku bisa dijadiin puzzle!" Haris, akhirnya aku tahu namanya, setengah teriak, wajahnya menghadap ke sekelompok temannya yang masih asyik ber-hp.

Teriakan Haris mampu mengundang beberapa temannya. Surya, Andri, dan Fikri. Mereka bertiga menghampiri dan memperhatikan keseruan Faiz dan Fatih menyusun puzzle ikan paus.

Surya mengambil buku Wow Amazon Serie Universe. Membuka halamannya, "Wuih ...! Kri liat, nih!" Surya memperlihatkan halaman pertama yang memperlihatkan gambar 3 dimensi (pop-up) alam semesta.

Melihat sebagian sudah asyik dengan buku, kuputuskan  pulang, "Fatih, kalo sudah udah selesai nanti tolong bawa ke rumah Bu Nia, ya." 

Yang di tanya, mengacungkan 2 ibu jarinya. 

Iya, kusadari aku tak kuasa merubah perilaku dan tabiat mereka yang sudah terbentuk, tapi juga tak berani menyalahkan siapa pun. Karenanya, aku tak pernah menasihati anak-anak itu secara langsung. Yang bisa kulakukan hanya mewarnai mereka sedikit demi sedikit dengan apa yang aku punya. Itulah salah satu alasanku menjadi reseller produk buku. Supaya bisa membeli buku dengan harga lebih murah, sehingga bisa dinikmati oleh anak-anak sekitar lingkunganku. 

Yang kuinginginkan cuma memiliki lingkungan yang baik, agar kelak jika Allah menakdirkan aku memiliki anak, anak-anakku tumbuh di lingkungan yang baik.

Bekasi, 18 Juli 2020





Kamis, 11 Juni 2020

(R)asa yang Hampir Hilang



Rasa itu pernah menghuni hatiku. Berada di podium dengan riuh tepuk, sorak sorai, dan eluan nama. Bidikan kamera, mewarnai hariku. Kini, rasa itu lenyap bersama perginya 
Kedua kakiku.

Di hari langit menangis, derainya tak terkira. Bahkan, bayu menyerta meliukkan semua pohon. Kilat dan petir saling bersahut, merasa yang paling berhak menemani tangisan langit, sebuah tantangan diterima.

"Kita tetap berlomba!" Seorang pemuda berambut ikal, badan atletis, memakai jaket berpengaman, dan helm full face yang kacanya dibiarkan terbuka, menjual tantangan padaku.

"Kau gila? Sekarang badai, perlombaan ditunda."

"Kau takut kalah?" Tanah yang sudah tergenang msndapat tambahan cairan ludah si penjual tantangan, menambah daya jual tantangannya.

"Kita akan berlomba, saat track ini sudah aman dari lumpur, dan panitia mengumumkan perlombaan!" 

Tak hendak terlibat dalam jual beli yang menaikkan darah, kubalikkan badan memuju pitstop.

"Ini antara kau dan aku!" Suaranya bersaing dengan petir yang membahana semesta. Lalu, mendorong tubuh yang sudah berbalik arah. 

Dorongan yang membuat langkah balik kananku terhenti, mendidihkan darah dan membeli tantangannya, "Kau, tunggu di sini!" 

Saat kuda besiku melaju di track berlumpur, mengalahkan ego yang berkata mampu, mengorbankan saran yang berkata tidak, sebuah kilat yang menyilaukan dan petirnya memekakkan telinga, menyambar jalur di hadapanku, membuat tangan repleks mencengkram rem dan sukses melambungkan tubuh lalu berdebum bersama teriakkan langit.

Detik melaju perlahan melewati menit dan jam. Hari telah berbilang menjadi tahun. Dan dasawarsa pun terlewati.

Gelap, meski mentari terik menyengat bumi.
Sepi, meski riuh di hadapan memekakkan telinga.
Duniaku hampa.
Tanpa kaki, seolah dunia berhenti.

Ratusan bunga dan ribuan ucap semangat, tak juga mampu menggelorakan asa dan rasaku.

Di saat aku tenggelam dalam pesimis, terkungkung rasa hina, secercah kerlip hadir. Genggaman tanpa ucap, menggamit tangan, mengenalkan pada eforia semisal dulu. Paralympic.

Setengah asaku kembali, degubnya membahana, memenuhi sistem limbik dan kalbu. Meski derunya berbeda, tapi gempitanya sama.

Di awali malu dan terpaksa, kini nyata aku bahagia. Sejuta kasih kularungkan padamu, Kawan. Kini, duniaku kembali. Terima kasih.

#semangatbelajar
#belajarmenulis

Sabtu, 06 Juni 2020

Badai Pasti Berlalu


Meski terus mengikuti berita dan perkembangan penyebaran Virus Covid-19 melalui media online, aku masih saja terkejut; ketika akhirnya daerah tempat tinggalku diberlakukan PSBB, sehingga sekolah pun terpaksa diliburkan. Anak-anak harus SFH dan kami WFH.

Rutinitas agak terganggu, tapi belajar harus tetap berlangsung meski #dirumahaja.

Sesuai kesepakatan dan SOP yang berlaku, kami melaksanakan long distance learning. Setiap pagi, sesuai hari sekolah, sudah sibuk memegang hp. Benda yang paling dijauhi saat KBM normal berlangsung di kelas. Kini, terpaksa harus setia mengelus benda pipih merk Samsung, meluangkan waktu untuk me-review jadwal dan tugas yang telah dilaksanakan anak-anak.

Tiba-tiba Menjadi Aktris

Sistem belajar jarak jauh, mengharuskan kami keep in touch meski lewat daring, sesekali komunikasi via video call.  Sebagai ganti tatap muka, beberapa video tutorial  mulai tercipta. Walhasil mengorbitkan "A New Aktris". 😁

Saya yang tidak suka selfie, tetiba harus siap mejeng untuk di-shooting. Wajah dan perilaku dipaksa senormal mungkin, meski gugup menerjang. Padahal, setiap hari berdiri di depan kelas, di hadapan belasan siswa biasa saja. Kini, harus menahan grogi menghadapi kamera. 😉

Duh, duh, duh .... 😅

Badai Rindu

Perkembangan penyebaran Virus yang semakin meningkat, membuat SFH dan WFH diperpanjang. Meski, awalnya ada gembira menyelinap saat pertama kali harus WFH; bisa bekerja lebih siang, tetap dasteran ketika WFH, dan  bisa bekerja sambil rebahan.

Belajar di rumah yang terus diperpanjang, membuat gelombang rindu kian deras menerpa. Rindu peluk dan belai anak-anak, rindu celoteh manja dan ceriwis mereka, rindu tawa dan tangis, rindu teriakan "Bu, aku bisa", rindu bermuwajahah dengan rekan seperjuangan.

Ah, ternyata, daya tarik para malaikat kecil sedahsyat itu. Dan rindu itu semakin berat, saat ada satu dua anak yang chat atau pesan suara, menyuarakan rindu juga. 😢

Badai Pasti Berlalu

Meski berat, aku yakin pandemi ini akan berakhir, wabah ini akan berhenti, dan semua akan kembali normal.

Agar semua cepat berlalu, dibutuhkan kerja sama, kerja keras, dan kepatuhan.

#DiRumahAja, #PakaiMasker, #JagaJarak, #TidakBersentuhan, saatnya soliter menjadi solider, yang terpenting dan utama adalah muhasabah dan doa.

Bisa jadi ini adalah teguran bagi kita semua untuk lebih waspada, solider, jaga diri, dan senantiasa memanjatkan doa.

Mari bersama deraskan doa, semoga pandemi lekas berlalu. Dan, kristalkan yakin, Indonesia kuat.

Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir.

Sabtu, 28 Maret 2020

Moms, Ini Dia 5 Hal yang Tidak Boleh dan yang Harus Dilakukan dalam Mendidik Anak




Memiliki anak yang lucu, dan berakhlak mulia adalah dambaan setiap orang tua. Tapi, pola asuh yang kurang tepat, bukan mendidiknya menjadi baik, malah bisa jadi memiliki karakter yang sangat tidak kita harapkan.

Seperti apa pola asuh yang harus dihindari? Berikut 5 hal yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak.

1. Otoriter

Hal yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak yang pertama adalah otoriter. 

Pola asuh ini terkenal dengan aturan ketatnya, tanpa mempertimbangkan keinginan dan kebutuhan anak. Bahkan tak jarang memberikan hukuman fisik agar anak patuh pada peraturan.

Pola asuh seperti ini berakibat buruk bagi kesehatan mental anak, di antaranya:
- Anak menjadi agresif.
Agresivitas ini terbentuk dari kemarahan atau perasaan negatif yang menumpuk, dan disalurkan pada orang lain.
- Pemalu dan kurang percaya diri.
Karena selalu mendapat tekanan dan tuntutan, anak menjadi malu atau takut menyampaikan pendapat, dan kurang percaya diri.
- Pencemas.
Anak dengan pola asuh otoriter, akan cenderung menjadi pencemas. Ia cemas dan khawatir jika segala tingkahnya akan berlawanan dengan keinginan dan harapan orang tua.

2. Permisif

Hal yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak berikutnya adalah permisif.

Pola asuh permisif ini adalah kebalikan dari otoriter. Orang tua cenderung memberikan kebebasan pada anak, terlalu reaktif, dan tidak memiliki batasan yang jelas tentang aturan.

Kebebasan yang bablas ini, berdampak negatif bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi labil, dan tidak taat aturan.

3. Membandingkan

Pola asuh berikutnya yang akan membuat perkembangan mental anak kurang baik adalah, membandingkan.

Membandingkan kemampuan anak dengan orang lain, meski itu adik atau kakak kandung, akan membuat harga diri anak terluka. Akibatnya, anak menjadi kurang percaya diri, rendah diri, bahkan bisa jadi menyimpan amarah terpendam terhadap pembandingnya.

4. Perbedaan Pola Asuh Ibu dan Ayah

Jika orang tua memiliki pola asuh yang berbeda untuk buah hatinya, misal; ibu otoriter dan ayah fermisif, anak akan bingung untuk mengikuti aturan siapa, hal apa yang diharapkan orang tua untuk ia patuhi dan kerjakan. Akhirnya, anak akan berlindung pada salah satu orang tua, ayah atau ibu, saat melakukan kesalahan. Hal ini akan mendidik anak menjadi labil dan manipulatif.

5. Lalai

Jenis pola asuh terakhir ini, sangat buruk bagi perkembangan mental dan fisik anak.

Orang tua yang lalai, bukan berarti tidak memenuhi kebutuhan dasar anak, tetapi ia tidak perhatian dalam masa perkembangannya. Bahkan meniadakan komunikasi dan nihil dukungan emosional.

Dengan pola asuh seperti ini, anak cenderung tak memiliki kontrol diri di kemudian hari. Pola asuh ini juga mencetak pribadi dengan harga diri dan kompetensi yang rendah.

Nah, kelima macam pola asuh di atas tidak boleh dilakukan, ya, Moms.

Lalu, sebaiknya pola asuh seperti apa yang baik untuk perkembangan anak?

1. Teladan

Hal yang harus dilakukan dalam mendidik anak
yang pertama dan utama kesuksesan mendidik anak adalah keteladanan dari orang tua. Semua petuah akan membekas dan mudah dilaksanakan anak jika ada contoh atau teladannya. Juga sebaliknya, semua serasa seperti dongeng jika hanya sebatas retorika.

Sangat miris jika ada orang tua yang melarang sesuatu, tapi mencontohkan hal sebaliknya. Sebagai contoh, ayah yang melarang anaknya merokok tapi sering merokok di hadapan anak-anaknya, bahkan menyuruh anak untuk membelikan rokok.

Orang tua harus menjadi rule model bagi anak-anaknya.

2. Luangkan waktu

Hal yang harus dilakukan dalam mendidik anak
selanjutnya adalah meluangkan waktu.

Sesibuk apapun orang tua, harus mau meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Adalah sebuah keniscayaan jika anak menjadi prioritas hidup orang tua, tapi tak mau meluangkan waktu untuk anaknya.

Tentu kita faham, mau dan mampu memiliki definisi yang berbeda. Meski ada kesempatan, jika tidak mau, maka tidak akan mampu meluangkan waktu. Dan sebaliknya, jika mau, meski sibuk akan mampu memanfaatkan waktunya bersama, quality time.

Dengan meluangkan waktu, komunikasi akan berjalan baik, akan terjalin hubungan yang erat, anak akan lebih percaya diri dan bahagia, sehingga diharapkan akan tumbuh perilaku positif.

3. Beri gambaran tegas tentang benar dan salah

Yang penting dilakukan dalam hal ini adalah kontinue dan tegas. Jangan sampai kita plin-plan dalam memberi gambaran dan batasan tentang hal yang benar dan salah. Jika tidak, anak akan mengalami kesulitan mengidentifikasinya.

4. Pahami anak

Meski terlahir dari rahim yang sama, sejatinya setiap anak adalah individu yang berbeda, kembar sekalipun. Karena itu sangat penting memahami karakter setiap anak. Beda karakter, beda pula cara pendekatan dan penanganan masalahnya.

5. Doakan anak

Ini yang utama dan pertama harus selalu dilakukan oleh orang tua, mendoakan untuk kebaikam anak.

Mata dan tangan kita terbatas geraknya, kita tak selalu bisa mengawasi dan menjaga anak. Karena itulah kita sangat butuh bantuan Sang Maha Melihat dan Mengetahui, untuk selalu menjaga dan melindungi anak-anak kita.

Menjadi oran tua adalah profesi yang selalu membutuhkan energi dan ilmu baru. Karena sosok yang menjadi tanggung jawab kita selalu bertumbuh menjauhi zaman kita. Tentu, kita tidak bisa mendidik mereka seperti orang tua kita mendidik kita pada zaman dulu. Zaman terus berkembang, orang tua wajib up to date, agar bisa mendidik anak sesuai dengan zamannya.

Jangan lupa berdoa dan selalu semangat belajar ya, Moms.

Senin, 02 Maret 2020

Dokter pun tak Percaya



Masih tentang semut, Genks.

Setelah hari Rabu, 26 Februari 2020 lalu aku tersengat semut, sehingga menyebabkan terserang syok anafilaksis. Pagi tadi, Senin, 2 Maret 2020, pukul 06.45 saat bersiap menunggangi kuda besi untuk mengajar, aku kembali tersengat. Kali ini telunjuk kaki kiri dekat jempol yang kena.

Di latar depan rumah, suami menyimpan satu kijang pasir. Mungkin ini dijadikan sarang semut juga. Padahal beberapa minggu lalu sebelum tersengat untuk yang kedua, aku sudah menyampaikan perihal keberadaan semut yang sering membuatku merinding saat akan menjemur pakaian. Seperti biasa, jawabannya cuma, "Biarin aja. Nggak papa." Karena istrinya belum terdampak.

Setelah itu, percakapan itu terlupakan, hingga Rabu lalu tersengat dan hari ini aku tersengat untuk yang ke-3 kalinya.

Masih hangat pengalaman Rabu lalu, kuda besi kembali kustandard dan bergegas menyeduh kopi seven elemen dari HPAI yang aku tahu memiliki kandungan anti racun. Alhamdulillah. Lima menit setelah sengatan, biduran cuma stag di ujung pergelangan kaki. Darah panas yang biasanya aku rasakan mengalir, tak juga menjalar. Menunggu 30 menit untuk melihat reaksi, sebelum akhirnya menyeduh gelas ke dua.

Biasanya dari dua kejadian yang pernah kualami sebelumnya, reaksi syok anafilaksis bekerja cepat, kurang dari satu jam. Dari biduran, pusing lemas, keram perut, buang air besar, muntah, lalu pingsan. Tapi setelah proses itu selesai, pulihnya juga cepat. Hanya bengkak dan gatal di sekitar lepuhan beningnya saja yang lama hilangnya, sekitar seminggu lebih.

Nah, kasus ke-3 ini unik. Setelah 30 menit tersengat, lalu minum segelas kopi sevel, tidak kurasakan gejala syok anafilaksis. Sebagai pencegahan, setelah minum kopi sevel yang kedua kalinya, aku menyeduh lagi untuk bekal ke sekolah

Dengan diantar suami, perjalanan yang biasanya hanya kutempuh dalam waktu 20 menit, ini hampir 40 menit. 😑 Mungkin karena membawa orang sakit kali, ya, jadi berkendaranya sangat hati-hati. Good joblah utuk suamiku. Kasih uplose ya, Genks. 😊

Setelah drama penyambutan (anak-anak heboh menanyakan kenapa datang sangat terlambat), aku minum bekal kopi sevel. Fix! Dalam kurun kurang dari 2 jam, aku telah meminum 3 gelas kopi sevel.

Saat tiba kembali di rumah, aku juga langsung nyeduh kopi sevel lagi untuk yang ke-4 kalinya. Karena takut racun semutnya masih ada.

Bakda zuhur, nafsu makan sudah mulai hilang. Aku tak merasakan lapar. Meski demikian, kupaksakan menyuap nasi saat suami makan. Alhamdulillah, tiga suapan kecil nasi masuk ke perut. Fyi, pagi sarapan bubur.

Badan mulai lemas, mulai ada rasa mual. Karena merasa yakin (atau takut?) syok anafilaksis akan menyerang, aku menyeduh kopi sevel untuk yang ke-5 kalinya.

Setelah meminum kopi untuk yang kelima kalinya, rasa mual mulai meningkat diiringi rasa nyeri seperti di remas pada lambung. Lalu, berturut-turut diare dan muntah. Aku merasa muntah yang ini berbeda. Jika muntah saat terserang syok anafilaksis, aku tidak merasakan nyeri lambung maupun rasa asam. Tapi muntahan kali ini, aku selalu merasakan asam, begitu juga aromanya. Setiap waktu, muntaber (yang keluar cuma air tanpa ampas), nyeri lambung serasa diremas, lemas, semakin meningkat. Puncaknya setelah sholat isya sekitar pukul 19.30, badan sangat lemas, bahkan muntah pun ditempat. Di samping sajadah, tak kuat menghampiri plastik yang sudah kusiapkan sekitar 30 cm (satu ubin) dari sajadah. Pandangan sudah mulai kabur.

Muntah terus berulang selama beberapa kali. Kebetulan suami sedang ke rumah pamannya di perumahan lain, sejak bakda magrib, dan tidak membawa hp. Terpaksa menelepon keponakan suami yang tinggal serumah dan sedang main di gang belakang.

Rasa panik mulai meyelimuti, semua praduga saling berargumen di benak. Satu sisi menghawatirkan syok anafilaksis, di sisi lain memastikan asam lambung kumat, mengingat jumlah kopi yang kuminum.

Tak selang lama, keponakan datang saat aku sedang muntah untuk kesekian kalinya. Mungkin karena tahu aku sudah sangat payah, dia tidak berani membawaku dengan motor, dan berinisiatif meminjam mobil temannya.

Saat mobil tiba, suami juga datang. Berempat dengan teman ponakan, aku diboyong ke klinik terdekat.

Sampai di klinik saat ditanya, dengan susah payah aku menceritakan kasus syok anafilaksis yang sempat aku derita karena disengat semut. Dan aku juga cerita tentang sengatan di pagi hari, juga jumlah kopi yang kuminum dan sakit yang kurasa setelahnya.

Mau tahu jawaban dokter, Genks?

"Oh, ini karena asam lambung ibu terganggu karena kebanyakan kopi." Sambil menekan perut dokter melanjutkan pernyataannya, "kalo karena digigit semut nggak akan ngasih efek seperti ini ibu, biasanya lebah."

Fix! Dokter pun menyangkal bahwa gigitan semut dapat mengakibatkan penderita terserang syok anafilaksis, apalagi orang awam.

Aku hanya mengiyakan semua reason yang dijabarkan. Karena aku juga punya riwayat sakit maag. Tapi yang aku sesalkan, bantahan tentang bahaya sengatan semut. Mungkin ibu dokter cantik di hadapanku ini belum pernah mendengar dan mendapatkan kasus seperti yang kualami.

Kenapa aku curhat seperti ini? Cuma sekedar sharing dan semoga jadi warning untuk mewaspadai semua kemungkinam terburuk akibat sengatan semut.

Dokter aja nggak percaya, apalagi orang biasa.

Pembaringan, 2 Maret 2020

#tetapwaspada
#duajamdiklinik,alhamdulillahdapet3xsuntikan
#penasaran
#berjuangmelawanlemas

Sabtu, 29 Februari 2020

Guru, Masihkah Dihargai?



Guru diidentikkan sosok sempurna yang bisa  digugu dan ditiru, harus memiliki kecendekiaan yang mumpuni, dan berakhlak mulia. Guru juga dituntut untuk bisa mengatasi permasalahan setiap peserta didiknya.

Jika ada kesalahan sedikit saja, cap guru tak becus dan tak pantas mengajar langsung tersemat. Bahkan menghukum guru secara fisik maupun verbal sudah banyak kita jumpai.

Jika zaman dulu, kita sudah biasa dengan jeweran, rotanan, atau hukuman fisik lainnya. Kini, seiring perkembangan zaman, tindakan guru terhadap siswanya sangat mudah dikritisi orang tua. Banyak guru khawatir terjerat HAM saat ingin mendisiplinkan siswanya, akhirnya memilih fokus pada transfer ilmu saja.  Sebaliknya, banyak orang tua  dengan arogannya menegur guru yang telah dianggap melakukan kekerasan terhadap anak. Dan, mereka juga akan tetap menyalahkan pihak sekolah atau guru jika anaknya tidak berakhlak, tidak menguasai bidang tertentu, dan sampai melakukan kenakalan remaja. Mereka seolah menjadi lupa, bahwa waktu anaknya di sekolah hanya beberapa jam saja, tidak lebih dari 10 jam.

Untuk menjembatani hal ini, harus ada komunikasi positif antara orang tua dan guru dalam mendidik anak, demi kebaikan dan masa depan anak.

Tentang komunikasi ini, ada sebuah artikel yang ditulis oleh Mba Sita Yudisia tentang penanganan bullying. Dalam artikel itu ditulis, X yang awalnya korban bullying berubah menjadi pelaku. X sering memukul korbannya. Gurunya telah melakukan pendekatan dengan berbagai cara, namun belum bisa membuat X menghentikan kebiasaannya memukul. Akhirnya dengan sangat terpaksa, guru memutuskan akan melakukan tindak kekerasan serupa yang dilakukan X pada korbannya, memukul. Semata-mata agar X paham dengan akibat, bahwa dipukul itu sakit.

Sebelum melakukan tindakan tegas terhadap X, pihak sekolah memanggil kedua orang tua X. Bukan hanya Ibu atau Ayahnya. Meski berat, dan awalnya Ayah X menolak, tapi demi kebaikan X, mereka menyetujui tindakan yang akan dilakukan guru.

Selanjutnya ditulis, selain melakukan tindakan tegas seperti yang telah dispakati, gurunya X ternyata juga tetap melakukan pendekatan persuasif melalui teman sebaya X, yang berperan sebagai penasihatnya.

Singkat cerita, tindakan yang dilakukan pihak sekolah, membuat X menyadari kesalahannya dan mau merubah perilakunya.

Agar tak salah memahami, silakan teman-teman meluncur ke berandanya beliau, dan membaca sendiri tulisannya.

Yang saya cermati dari tulisan Mba Sita, kerja sama dan komunikasi antara pihak berwenang, sekolah-orang tua-ahli, sangat diperlukan.

Senada dengan hal di atas, Abun Nada dalam postingan di instagramnya membuat kita melek akan fenomena yang sekarang sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Disertai dengan ilustrasi, membuat kita semakin harus merenung tentang posisi kita. Apakah kita sudah menjadi orang tua yang baik dalam berkomunikasi dengan guru dari anak-anak kita?

Apalagi, membaca beberapa berita online sangat membuat hati miris. Ada guru yang disuruh merangkak mengelilingi kelas, dibotaki, dipukul oleh orang tua murid sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meregang nyawa di tangan muridnya sendiri. Membuat kita berpikir: Apakah guru masih dihargai?

Ilustrasi guru by kantormeme.blogspot.com

Kamis, 27 Februari 2020

Bahaya Gigitan Semut Api Bisa Menyebabkan SYOK ANAFILAKSIS


Pernah digigit semut, Genks? Apa reaksi tubuhmu saat digigit? Kalo cuma bentol merah, panas, dan sedikit sakit, berarti wajar.

Tapi, ada lho, seseorang yang digigit semut akan menunjukkan reaksi keracunan. Seseorang itu saya, Genks. Hehehe .... 😆

Meski tampak lebay, bahkan suami saya bilang aneh, tapi, memang beneran terjadi.

Jadi begini ceritanya, Genks.

Sambil baca, jangan lupa siapin camilan. Coz' ceritanya panjang x lebar, Genks. Hahaha ....

Bulan Juli 2007, saya dan suami dengan mantap memutuskan untuk pensiun jadi kontraktor.
Alhamdulillah, Allah kasih rezeki untuk membeli gubuk sendiri. Meskipun, kata orang, daerahnya tempat jin buang anak. Jadi bukan manusia aja, ya, yang suka buang anak. 😊 Saya dan suami tetap merasa bersyukur dan sangat bahagia.

Kami tinggal di Perumahan Villa Permata. Perumahan ini masih sangat asri. Jauh dari keramaian, kiri-kanan, depan-belakang, masih persawahan luas, banyak rumah-rumah kosong rubuh tak bertuan. Nah, rumah kosong yang telah rubuh dan tak bertuan ini, banyak dimanfaatkan warga setempat untuk bercocok tanam, termasuk saya.

Dengan bantuan suami, saya memanfaatkan lahan kosong di samping kanan rumah dengan menanam singkong, ubi, cabe, lengkuas, jahe, dan kunyit.

Saking bahagianya punya kebon, setiap hari libur pasti saya sempatkan untuk membersihkan rumput liar yang tumbuh dengan cepat.

Suatu hari, punggung telapak kaki kiri digigit semut. Reaksi awal cuma meremehkan, "Ah, digigit semut doang, nggak papa." Semut yang mengigit cuma saya tepis, lalu melanjutkan bebersihnya. 

Tak lama, bekas gigitannya terasa panas, dan gatal. Lagi-lagi, masih meremehkan. Cuma saya garuk tanpa melihat kakinya. Makin lama, makin panas dan gatal, mulai waspada. Melihat kaki mulai bengkak, saya sudahi kegiatan berkebunnya. Cuci tangan dan kaki, lalu mengoleskannya dengan minyak kayu putih. Saat sedang dioles, kondisi punggung telapak kaki sudah bengkak sampai batas pergelangan kaki. Saya tanyakan ke suami, katanya wajar. 

Fyi, bengkaknya sampai seminggu, setelah itu mengoreng. Sampai berbulan-bulan tanda gigitannya masih berbekas.

Kejadian itu lumayan bikin saya waspada setiap melihat semut, belum sampai trauma. Kegiatan bebersih kebun masih terus saya lakukan. Tergigit semut, terulang lagi, reaksinya masih sama, bengkak berhari-hari.

Selanjutnya, sikap waspadanya meningkat ke siaga. Setiap kali sedang bebersih, lalu melihat semut, auto pindah tempat. Dan pernah, karena panik menghindari semut, saya justru menginjak sarangnya. Dan ada semut yang berhasil menyengat. Reaksi tubuh mulai lebay, panasnya langsung menjalar ke seluruh tubuh, seakan darah mendidih. Saya langsung banting celurit, lari ke kamar mandi, cuci bersih tangan dan kaki. Keluar dari kamar mandi, kulitnya langsung biduran. Biduran makin meluas seiring rasa panas yang menjalar, merinding hebat, Genks. Saya mulai panik. Buka baju, dan minta suami mengolesi minyak kayu putih ke seluruh tubuh.

Sejak saat itu, mulai ada rasa trauma. Jadi, kalo lagi bebersih dan melihat semut, ngambil sikap sesantuy mungkin, mata menatap tajam ke si semut, terus semutnya diajak ngomong, "Mut semut, maafin aku yaaa. Aku nggak bermaksud ganggu kamu. Aku cuma mau bersihin rumput aja. Jangan gigit aku, ya, Mut." Alhamdulillah, aman!

Karena gubuk saya masih harus direnovasi, tapi keuangan alakadarnya, jadilah suami mengerahkan semua daya dan kekuatannya, serta warisan ilmu leluhur, untuk merenov rumah sendiri. Jadi, kalo hari libur, kegiatan kami berbeda. Suami, bertransformasi jadi kuli bangunan, saya jadi petani.

Suatu hari, suami minta bantuan untuk ngangkutin pasir. Tugas saya cuma memasukkan pasir ke dalam ember menggunakan pacul. Suami yang ngangkutin ke dalam untuk diaduk semen. Gundukan pasirnya ada di samping pohon pisang. Saat pasir dekat pohon pisang mulai berkurang, terlihat gerombolan semut. Aotu kaget dan teriak, "Mas ada semut!" Suami cuma menjawab, "Biarin aja." Cari aman, saya pindah ke posisi lain dari gundukan pasir.

Nah, saat sudah pindah posisi, dan siap memasukkan pasir lagi, saya merasa ada sengatan di kelingking kaki. Saya langsung panik, dan cuci kaki. Kebetulan suami sudah membuat keran di depan rumah. Saat sedang mencuci kaki, saya merasa darah panas menjalar sangat cepat, jantung langsung berdebar, kepala agak pusing, lemas, dan perut berasa keram disertai rasa ingin buang air besar. Saya langsung masuk rumah, sampai di dapur saya sudah nggak kuat, merangkak menuju kamar mandi. Suami ternyata melihat dan khawatir. Saat saya sedang buang air, dia menunggu di luar. Selesainya, saya merangkak keluar kamar mandi dan langsung dipapah menuju kamar. Sampai di kasur saya muntah, lalu pingsan.

Saat siuman, ternyata ada tetangga yang menjenguk, dia menanyakan penyebab saya seperti itu, "Kenapa sampe bisa kayak gitu, Bu Nia? Digigit apa?"

"Kalajengking, Bu," jawab suami.

Saya langsung membantahnya, "Bukan! Semut, kok."

Tetangga malah menyangkal jawaban saya, "Semut kok sampe begitu. Bener kalajengking kali, Bu Nia."

Ya sudahlah, aku manut aja dengan jawaban mereka. Yang aku lihat semut, tapi, aku juga heran kok sengatan semut bisa mengakibatkan reaksi seperti itu.

Keesokan harinya, berita aku tersengat kalajengking tersebar di kalangan tetangga dekat. Satu dua orang, memastikan langsung. Aku cuma mengiyakan, meski nggak yakin. Karena memang yang aku lihat semut, bukan kalajengking.

Sejak saat itu, aku trauma dengan semut. Kegeiatan bebersih kebun digantikan dengan suami. Aku cuma mau ikut bebersih kalo mendesak aja, misalnya kerja bakti warga, atau suami memang tidak sempat dan rumput sudah sangat lebat.

Bertahun-tahun asumsi bahwa aku digigit kalajengking bertahan dibenak. Aku yang belum punya akses internet tak bisa mencari tahu, mau bertanya ke dokter, gejalanya sudah hilang. Jadi dipendam aja.

13 tahun kemudian, tepatnya hari Rabu, 26 Februari 2020, antara pukul 21.00 - 22.00, aku mengalami kejadian serupa. Kali ini semutnya terlihat, karena menggigit tangan kiri, sewaktu mengambil handuk yang tersampir di mesin cuci. Dan langsung aku perlihatkan ke suami bangkai semutnya. Seperti biasa, suami hanya memberi respon santuy, "Nggak papa."

Memang beberapa hari ini semut sedang bergerilya dan menghuni stop kontak rumah, mungkin karena cuacanya dingin.

Mendapat gigitan semut, teringat kejadian belasan tahun lalu. Aku langsung gerak cepat, membalurkan minyak herba sinergi atau budbud ke bekas sengatan semut.

Selang beberapa detik, aku langsung merinding, darah panas mulai menjalar disertai gatal-gatal, tak lama bentol pun beruntun memenuhi seluruh permukaan kulit termasuk kepala. Ketika sedang merasakan panas dan merinding, aku menyeduh susu. Yang aku tahu, susu bisa menetralisir racun.

Ternyata, reaksi bidurannya tidak berkurang dengan minum susu. Terpaksa membangunkan suami yang sudah tidur lebih dahulu untuk membantu mengoles punggung.

"Sudah, Say. Aku tidur lagi, ya?"

Tanpa menunggu jawaban dia langsung menuju kamar.

"Iya, aku belum bisa tidur masih panas."

Sambil menahan rasa panas dan gatal, aku buat story WA, dan searcing google tentang gejala yang sedang aku alami. Dari hasil pencarian, ternyata memang ada sebagian kecil orang yang akan mengalami reaksi seperti aku.

Saat sedang berselancar di dunia maya, mencari semua info tentang akibat sengatan semut, aku merasakan pusing, persendian terasa lemas, perut keram disertai rasa ingin buang air besar. Dengan sempoyongan, aku paksakan ke kamar mandi. Kan nggak etis kalo sampe pup di ruang tamu. Hihihi ....

Ketika sedang buang hajat, aku merasa semakin lemas. Akhirnya aku sudahi, meski rasa mengejan itu masih ada, "Ya Robb, aku nggak mau mati di kamar mandi dan dalam keadaan buang hajat pula. Itu seburuk-buruknya kematian. Kuatkan aku berjalan ke kamar ya Allah."

Kematian itu serasa sangat dekat, karena lemas dan pandangan mulai buram. Alhamdulillah, kuat juga sampe di kamar.

Saat rebahan, aku bangunkan suami dan berwasiat padanya, "Mas, aku masih punya utang 1 kali arisan buku ya. Datanya ada di grup WA. Kalo aku udah nggak ada, tolong bayarin ya."

Suami malah mendengus kasar, dan balik badan.

Aku tak mampu bicara lagi, napas mulai tersengal-sengal, jantung berdebar sangat cepat, rasa mual mulai meningkat, lalu terbatuk karena sesak. Setelah batuk beberapa kali, mual berhasil meluahkan semua isi perut, banyak sekali

Mendengar aku muntah, suami langsung terbangun, dan sigap mengambil lap dan ember, kemudian membersihkan muntahan.

Setelah mengeluarkan semua isi perut, seluruh tubuh masih diselimuti lemas dan panas.

Alhamdulillah nggak pingsan.

"Kamu didigit semut doang kok, sampe kayak gini sih, Say." Suami membelai wajah dan kepalaku, lalu memberikan kecupan keseluruh wajah, "aku takut tau."

"Sama, aku juga takut, Mas." Kupeluk erat suami, "berarti yang dulu gigit aku itu beneran semut juga, Mas, bukan kalajengking," lanjutku.

"Iya. Tapi, besok-besok jangan ngomong kayak tadi lagi, ya." Tangannya menoyor jidatku, "aku nggak mau ditinggal duluan." Lalu mengecup bekas toyorannya.

"Ah, suami nih, marah apa sayang sih?" gumamku dalam hati.

---- the end ----

Udah abis berapa bungkus camilannya, Genks? Tarik napas dulu, yuuk!

Tarik, embuskan. Tarik, embuskan lagi. Tarik lagi, embuskan lagi. Ya cukup. 😊

Nah, dari pengalamanku di atas, meskipun sebagian besar orang tidak mengalaminya, ternyata sengatan semut api bisa berakibat fatal.

Berikut reaksi yang terjadi pada diriku:
1. Darah serasa panas
2. Biduran
3. Pusing
4. Lemas
5. Mual
6. Muntah
7. Pingsan

Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, ternyata reaksi yang saya alami namanya SYOK ANAFILAKSIS. Pada beberapa kasus, bahkan syok anafilaksis ini bisa menghilangkan nyawa penderitanya. Seperti yang di alami Rizki Ananda (25) di Tangerang, yang beritanya dilansir di  era.id.  DetikHealth   juga melansir seorang remaja, Cameron (13) di Texas, meninggal akibat sengatan semut api. Dan beberapa nama lagi dinegara berbeda.


So, jangan anggap remeh gigitan semut api. Karena rata-rata korban syok anafilaksis tidak menyadari jika dirinya alergi sengatan semut, sebelum tersengat dan semuanya sudah terlambat. Mencegah itu lebih baik, Genks.

Untuk lebih jelasnya, Genks bisa menyimak screen shoot dari pencarian gugel, di akhir tulisan saya.

Semoga bisa dijadikan pembelajaran untuk lebih waspada. Doa saya, semoga Genks dan anggota keluarga tidak mengalaminya. Jika, diperlukan jangan ragu-ragu untuk mengunjungi dokter.

Bye ....

Bekasi, 27 Februari 2020