Sabtu, 29 Februari 2020

Guru, Masihkah Dihargai?



Guru diidentikkan sosok sempurna yang bisa  digugu dan ditiru, harus memiliki kecendekiaan yang mumpuni, dan berakhlak mulia. Guru juga dituntut untuk bisa mengatasi permasalahan setiap peserta didiknya.

Jika ada kesalahan sedikit saja, cap guru tak becus dan tak pantas mengajar langsung tersemat. Bahkan menghukum guru secara fisik maupun verbal sudah banyak kita jumpai.

Jika zaman dulu, kita sudah biasa dengan jeweran, rotanan, atau hukuman fisik lainnya. Kini, seiring perkembangan zaman, tindakan guru terhadap siswanya sangat mudah dikritisi orang tua. Banyak guru khawatir terjerat HAM saat ingin mendisiplinkan siswanya, akhirnya memilih fokus pada transfer ilmu saja.  Sebaliknya, banyak orang tua  dengan arogannya menegur guru yang telah dianggap melakukan kekerasan terhadap anak. Dan, mereka juga akan tetap menyalahkan pihak sekolah atau guru jika anaknya tidak berakhlak, tidak menguasai bidang tertentu, dan sampai melakukan kenakalan remaja. Mereka seolah menjadi lupa, bahwa waktu anaknya di sekolah hanya beberapa jam saja, tidak lebih dari 10 jam.

Untuk menjembatani hal ini, harus ada komunikasi positif antara orang tua dan guru dalam mendidik anak, demi kebaikan dan masa depan anak.

Tentang komunikasi ini, ada sebuah artikel yang ditulis oleh Mba Sita Yudisia tentang penanganan bullying. Dalam artikel itu ditulis, X yang awalnya korban bullying berubah menjadi pelaku. X sering memukul korbannya. Gurunya telah melakukan pendekatan dengan berbagai cara, namun belum bisa membuat X menghentikan kebiasaannya memukul. Akhirnya dengan sangat terpaksa, guru memutuskan akan melakukan tindak kekerasan serupa yang dilakukan X pada korbannya, memukul. Semata-mata agar X paham dengan akibat, bahwa dipukul itu sakit.

Sebelum melakukan tindakan tegas terhadap X, pihak sekolah memanggil kedua orang tua X. Bukan hanya Ibu atau Ayahnya. Meski berat, dan awalnya Ayah X menolak, tapi demi kebaikan X, mereka menyetujui tindakan yang akan dilakukan guru.

Selanjutnya ditulis, selain melakukan tindakan tegas seperti yang telah dispakati, gurunya X ternyata juga tetap melakukan pendekatan persuasif melalui teman sebaya X, yang berperan sebagai penasihatnya.

Singkat cerita, tindakan yang dilakukan pihak sekolah, membuat X menyadari kesalahannya dan mau merubah perilakunya.

Agar tak salah memahami, silakan teman-teman meluncur ke berandanya beliau, dan membaca sendiri tulisannya.

Yang saya cermati dari tulisan Mba Sita, kerja sama dan komunikasi antara pihak berwenang, sekolah-orang tua-ahli, sangat diperlukan.

Senada dengan hal di atas, Abun Nada dalam postingan di instagramnya membuat kita melek akan fenomena yang sekarang sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Disertai dengan ilustrasi, membuat kita semakin harus merenung tentang posisi kita. Apakah kita sudah menjadi orang tua yang baik dalam berkomunikasi dengan guru dari anak-anak kita?

Apalagi, membaca beberapa berita online sangat membuat hati miris. Ada guru yang disuruh merangkak mengelilingi kelas, dibotaki, dipukul oleh orang tua murid sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meregang nyawa di tangan muridnya sendiri. Membuat kita berpikir: Apakah guru masih dihargai?

Ilustrasi guru by kantormeme.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar