Selasa, 30 Juli 2019

Inilah Suratku

Bismillah

Ya Robb
Aku tahu kehidupan adalah sekolah yang tak pernah tuntas, hingga kematian menjemput.

Sekolah tentu ada guru dan siswanya. Takdir yang telah terjalani, memberikan banyak pengalaman. Namun, sering kali aku sangat telat mengerti pelajaran yang diberikan dalam tiap pengalaman. Hingga sesal sering menghampiri.

Ya Robb
Di ujung penutup ini, baru kusadari dengan segala sesal. Semoga taubat dan istighfar mampu menghapusnya. Karena kutahu, ampunan dan kasih sayang-Mu Maha Luas.

Ya Robb
Di akhir masaku ini baru kutahu dengan penuh sesal, ternyata semua bersumber dari sombongnya diri. Sifat yang selalu kuingkari ada dalam diri. Karena aku tahu aku tak boleh memilikinya. Tapi, nyata sombong itu selalu bersemayam. Hingga bertahta cantik dengan halusnya di sanubari.

ASTAGHFIRULLOHAL 'ADZHIM

Ya Robb
Izinkan aku pulang dengan fitri, agar Engkau berkenan meringankan azabku dan menarikku segera lalu mengumpulkan aku bersama golongan orang-orang sholeh.

Ya Robb
Izinkan aku menunaikan kewajibanku hingga tuntas, agar kembaliku tak membawa banyak noda.

Ya Robb
Dengan penuh rasa syukur dan taubatku, kuikhlas melepas hal yang telah membuat sombongku terus menggelayut.

Ya Robb
Sampaikan maaf pada orang terkasihku. Karena kutaksanggup menyampaikan.

Ya Robb
Limpahkanlah segala berkah pada kekasih dan sahabat-sahabat yang  telah memberikanku kesadaran, dan tak pernah bosan menuntunku dari kegelapan.

Bismillahi awwaluhu wa akhiruhu

Jumat, 12 Juli 2019

Persahabatan Pitki dan Tupi



Oleh : Nia Kurniawati
Ilustrator: Ina Khoirunnisa (Jyhan Rashida)

"Ibu ..., Kakak ..., jangan tinggalkan aku!" Pitki, si anak Pipit teriak memanggil ibu dan kakaknya yang terbang mencari makan.

"Uuh! Aku bosan berada di sarang terus. Tapi, bagaimana aku akan terbang?"  Pitki mengoceh sendirian.

Dia terus memutar kepala dan badannya, melompat-lompat, dan sesekali mematuki sarangnya, yang berada di antara batang pohon beringin. Dia berharap sahabatnya, Tupi, si anak tupai, akan segera datang.

Pitki terus teriak berusaha memanggil sahabat, kakak atau ibunya. Berharap salah satu dari mereka segera datang.

Mentari terus beranjak naik, hangatnya kian terasa menerobos dedaunan dan menerpa sarang Pipit. Ia mulai gelisah dan takut berada sendirian di sarang.

"Pagi Pipit, mengapa kau berisik sekali hari ini?" sapa Tupi sambil mengibaskan ekor dan menggaruk hidungnya.

Pitki kaget bercampur senang melihat sahabatnya tiba-tiba muncul. Tapi, ia menutupi kegembiraannya itu, dan berlagak marah pada Tupi. "Pagi? Ini hampir siang Tupi. Kenapa kau lama sekali?"

"Maaf, Pitki. Aku harus membantu ibuku mengumpulkan makanan, karena sebentar lagi musim penghujan akan datang.” Tupi mengibaskan ekornya, “sulit bagi kami mencari makan di musim hujan.”

“Oh begitu, ya. Baiklah, kau aku maafkan.” Pipit tersenyum, “saat musim hujan nanti, aku pasti kesepian.” Pitki menundukkan kepalanya.

"Tidak, kalau kau bisa terbang. Kau akan selalu bersama keluargamu sepanjang hari." Tupi berusaha menepis kesedihan sabahatnya

"Tapi, aku tidak bisa terbang."

"Belajarlah! Bukankah Kakakmu sudah sejak 2 minggu lalu bisa terbang? Kamu pasti bisa!” Tupi menyemangati Pitki.

"Kemarin, aku sudah mencoba, bahkan aku hampir jatuh."

"Apa kau ingin sendirian di sarang?"

"Aku tidak mau!"

"Kalau begitu, belajar lagi."

"Kalau aku jatuh bagaimana?"

"Kau belum mencoba, kenapa banyak alasan? Jangan takut, aku akan membantumu."

"Bagaimana kau bisa membantuku? Kau kan tidak punya sayap?”

“Tapi, aku bisa melayang menangkapmu Pitki,” Tupi terus saja menyemangati Pitki. Ia tidak mau temannya gagal.

“Baiklah, aku akan mencobanya.”
Pitki berusaha mengepakkan sayapnya.

"Tidak bisa!" teriak Pitki pesimis.

"Ayo! Coba sekali lagi!"

Pitki berusaha sekali lagi. "Sayapku sakit!"

"Jangan menyerah! Kau harus kuat, angin musim huja  nanti akan lebih kuat. Kalau kau malas belajar terbang, suatu saat sarangmu akan tertiup angin kencang dan kau akan jatuh bersamanya. Lalu ranting akan menimpa badanmu. Apa kau ingin seperti itu?" Tupi berusaha menyemangati, dengan memberikan gambaran buruk, yang akan dihadapi Pitki bila ia malas belajar terbang.

"Tidak!” Pitki menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “baiklah aku akan mencoba lagi."

Pitki terus berusaha, dia tidak ingin ditinggal sendiri terus. Dia juga tidak mau mati konyol saat musim hujan nanti.

"Ahai! Teruslah Pitki, yeee ...!" Tupi teriak kegirangan sambil melompat dan terus mengibaskan ekornya, demi dilihatnya Pitki sudah melayang di atas sarangnya.

"Pitki, kau pasti bisa! Ayo condongkan badanmu, arahkan kemana saja kau mau ...!" teriak Tupi menyemangati anak Pitki.

"Bagaimana kalau aku jatuh?"

"Aku akan menangkapmu Anakku.” Ibu Pitki berseru dari atas, sambil terus mengangkasa mengitari sarangnya.

"Ibu, kau sudah datang. Lihatlah Ibu ...." Paruh Pitki terbuka lebar. Ia gembira melihat kedatangan ibunya.

"Ayo Adik, aku akan mendampingimu." Ternyata, kakaknya juga sudah datang.

Tak lama kemudian ....

"Tupiii ..., aku sudah bisa terbang." Pitki teriak dari atas pohon. Ia senang sudah bisa terbang.

Pitki pun mengangkasa bersama keluarganya, mengelilingi pohon tempatnya bersarang. Kini, ia tidak perlu cemas lagi akan tertinggal sendiri di sarang. 

"Terima kasih Tupi ...!" teriak Pitki lagi.

Tupi tersenyum bahagia melihat temannya sudah bisa terbang, “teruslah terbang Pitki, semangat ya!” 

Tupi pun, segera melompat ke pohon lain, untuk berkumpul bersama ibunya.

Senin, 01 Juli 2019

Dear Juli

By: Nia Kurniawati

Aku telah ihklas meninggalkan Juni, dengan segala manis dan pahitnya. Semoga engkau sudi menerima diri yang berjelaga ini, agar mampu menyongsong Agustus dengan sukacita.

Bersamamu akan kubasuh debu, hingga mengabu lalu sirna. Dengan segala upaya kucoba istiqomah dalam senyum nan bahagia. Sedikit demi sedikit akan kurobek topeng, agar wajah dan hatiku mantap bermunajat pada-Nya.

Juli, saksikanlah si pandir ini terus berbenah. Memantaskan diri untuk pertemuan yang rahasia, namun pasti.

Bekasi, 1 Juli 2019