Sabtu, 26 Januari 2019

Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab



"Bu Nia, tanda-tanda orang mau pergi bagaimana, sih?"

Sebuah chat WA dari seorang teman membuat hati ini berdesir aneh, gemuruhnya membuat lidah kelu, dan jempol kaku. Sesaat aku bergeming.

"Bu Ika, mau pergi ke mana memangnya?"

Pertanyaannya kubalas dengan pertanyaan candaan, meski aku tahu ke arah mana persoalan itu menuju.

Dwi Rasika Sari, atau yang biasa kupanggil Bu Ika, adalah rekan mengajar di bimbel yang kuselenggarakan sore hari di rumah, sahabat sekaligus teman berdebat. Dengannya aku bisa beradu argumen tanpa  sentimen. Marah tanpa berpura-pura, tapi tak berbekas. Sejak pertengahan tahun 2017, beliau resign karena menderita pengeroposan pada bantalan tulang punggung yang membuat ia tak leluasa bergerak. Pada awal tahun 2018 menjalani operasi penyambungan ruas tulang belakang. Sejak saat itu kondisinya terus menurun, bahkan harus terus berbaring.

"Soalnya B.A.B.ku coklat banget dan sangat lengket. Kata orang tua zaman dulu, itu tanda-tanda orang mau pergi."

Mataku memanas, jantung berdegub tak berirama, dan lelehan hangat akhirnya mengalir di pipi. Dia tetap menjawab dengan serius, tidak menanggapi candaanku.

"Bu Ika, rezeki, hidup, dan mati itu urusan Allah. Ada orang yang divonis dokter hanya menunggu waktu saja, nyatanya bisa panjang umur. Ada yang sehat-sehat saja ternyata hidupnya hanya sebentar. Semangat Bu Ika!"

Balasan penuh pencitraan untuk memotivasi ku kirimkan. Padahal jempol ini bergetar saat mengetiknya. Entah mengapa perasaanku menghianati otak. Aku merasa ketakutan saat membaca chat Bu Ika, tapi logikaku melarang mempercayai firasat itu. Aku tak boleh mendahului takdir, semua Allah yang putuskan.

"Iya, Bu Nia. Aku selalu semangat, sudah kangen sama anak-anak."

"Nah, begitu Bu Ika. Siip! Aku juga kangen pengen ngajar bareng lagi. Mmuaach." (Emot kiss)

Ku akhiri chat itu dengan rasa yang entah. Untuk meminimalisir keadaan, hp segera ku letakkan di meja.

Selang beberapa hari setelah itu, tepatnya tanggal 27 April 2018, sinyal indosat di perumahan tempat tinggalku tenggelam. Hingga membuat aktifitas komunikasi tersendat. Sinyal, baru didapat saat berada di luar lingkungan perumahan.

Ternyata, Bu Ika sering menelepon WAku. Notifikasi itu kudapat saat sedang berada di TK, tempat aku mengajar berjarak 9 km dari rumah. Karena sibuk, ketika di TK tidak leluasa untuk menelepon, ataupun membalas pesan, maka aku memilih mengabaikan notif dari Bu Ika. Toh, nanti aku bisa ke rumahnya, bicara langsung.

Seminggu sebelum Ramadhan tiba, Bu Ika kembali mengirim chat.

"Bu Nia, aku boleh puasa, ga? Luka operasiku masih terbuka."

"Bu, kalo tarawih di rumah, boleh ga?"

Lagi-lagi, WA itu baru terbaca saat siang hari di TK, waktu menjelang pulang ke rumah.

"Ah, nanti sajalah ngomong langsung di rumah biar enak dan jelas," batinku. Mengurungkan niat membalas pesan, karena sudah waktunya pulang.

Ternyata, sampai di rumah raga langsung menyerah pada kasur, minta dicarge untuk persiapan les sore. Sampai beberapa hari kemudian, niatku belum tertunaikan juga. Hingga pada hari terakhir di bulan Sya'ban.

Sore itu, kupaksakan silaturrahim ke rumah Bu Ika meski kepala terasa pusing. Khawatir tak ada lagi kesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan Bu Ika seputar Ramadhan, karena besok sudah puasa.

Rumahnya sepi. Kendaraannya, motor ataupun mobil yang biasa terparkir di depan rumah tidak ada. Terpaksa bertanya pada tetangga depan rumahnya, Ibu Uci,  yang sedang mencuci motor

"Lagi pergi kali, Bu."

"Bagaimana keadaannya Bu Ika, Bu?"

"Kemarin sih, saya lihat sudah bisa duduk di teras depan."

"Alhamdulillah. Semoga bisa pulih seperti semula."

"Aamiiin."

Kami mengucapkan aamiiin bersamaan. Meski sedikit lega mendengar Bu Ika sudah bisa duduk di teras, --sebelumnya selalu terbaring selama dua bulan--, masih ada yang mengganjal di hati karena belum bisa bertemu dan menjawab pertanyaannya tempo hari.

Rasa sesal mengiringi langkahku menuju pulang ke rumah. Inilah buah penundaan dan kemalasan.

Malam ini adalah sahur pertama. Berdasarkan kebiasaanku, biasanya aku akan bangun jam 03.00 dini hari, agar bisa makan shur di akhir waktu, sesuai yang disunnahkan Rosul. Tapi, sejak jam 01.00 mata sudah tak ingin terpejam. Pertanyaan Bu Ika terus mengiang di kepala. Kuputuskan mengadukan semua resah pada Pemilik Kehidupan.

Sekitar jam 2 lewat, terdengar pengumuman kematian. Tak jelas namanya, karena angin bertiup lumayan kencang. Tapi hatiku gundah tak terkira, wajah Bu Ika terbayang. Hujanan istighfar deras mengalir dari lisan, air mata menganak sungai. Semoga prasangka ini salah.

Tafakur di ruang tamu, tempat les biasa diselenggarakan, malah membuat aku mampu menangkap siluet Bu Ika yang sedang duduk mengajar, dan memanfaatkan sisa waktu sebelum pulang untuk menulis tugas anak-anak keesokan harinya.

Sosok yang tegas buat anak-anak, namun penuh canda tawa saat membawakan materi. Membuat suasana belajar menjadi kondusif.

Sebelum adzan subuh, notif gawai riuh bersahutan dari hpku dan suami.

Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uuun. Telah meninggal dunia, Dwi Rasika Sari, pukul 02.10 tadi dini hari di RSCM.

Tungkai lemas seketika, membaca pesan di grup RT, netra kembali membuncah, dada serasa dipukul godam puluhan kali. Sesalku tak kan terobati. Jawaban yang telah kupersiapkan takkan pernah tersampaikan.

Semoga khusnul khotimah sahabat.

Allahummaghfirlaha warhamha wa'aafiha wa'fuanha.

Nia Kurniawati
Bekasi, 26 Januari 2019

*barusanggupmenuliskisahini.
#janganmenundapekerjaan

“Jika kamu memasuki waktu sore maka janganlah tunggu waktu pagi, dan jika kamu memasuki waktu pagi janganlah kamu tunggu waktu sore, dan gunakanlah kesehatanmu untuk masa sakitmu, dan kehidupannya untuk kematianmu.” (HR. Bukhari)

Jumat, 18 Januari 2019

Aroma Mistis


Sejak semalam aroma aneh menguar dari setiap sudut pekarangan rumah. Suasananya membuat bulu kuduk marathon bergidik, aromanya memaksa perut  meluahkan isi, dan  bintang menari di seputar kepala.

"Mistis apalagi, ini? Kok aromanya aneh," ujarku dalam hati.

Kejadian ini, mengingatkan aku pada kisah setahun yang lalu. Tahun lalu, kampungku pernah digegerkan dengan aroma kopi luwak. Aromanya bisa diendus seluruh warga. Padahal tidak mungkin semua warga menyeduh kopi luwak bersamaan, 'kan? Aneh! Kejadian tidak masuk akal ini akhirnya melahirkan  rumor, LEAK SEDANG MENCARI TUMBAL.

Kabar burung itu menjadi trending topik. Dibicarakan oleh segenap kalangan --tua-muda, dan setiap waktu --pagi sampai malam. Di setiap sudut, warung sayuran, mushola, sekolah, pun kedai kopi, dan warung bakso.  Membuat bocah menjadi betah di rumah, karena takut menjadi tumbal Leak.

Lama, kabar itu baru terbantahkan oleh sebuah berita di televisi. Pabrik disekitar kampung yang biasa membuang limbah ke sungai, mencampurkan limbahnya dengan esense kopi, untuk menggantikan bau limbah yang biasanya pekat, berbau busuk, dan membuat migrain menari.

"Oohhh ...."

Banyak mulut ber-oh panjang setelahnya. Sekarang, aroma kopi luwak hanya terendus waktu pagi dan malam saja, juga hanya di sekitar rumah. Itu pertanda, Pak Nasir sedang ngopi.

Kampung tempat tinggalku, Jejalen Jaya, memang terkenal akan  mistisnya. Konon, tempat jin buang anak, katanya. Bisa jadi manusia yang buang anak, meniru perilaku jin. Sampai-sampai, sinyal di tempatku juga bernuansa mistis. Karena sering hilang dan datang sendiri.

Selain itu, masih banyaknya bangunanan bekas peninggalan Belanda, meski ada beberapa yang tinggal dindingnya saja, banyak kejadian mistis yang dialami warga sekitar. Dari mencium aroma wangi, busuk, bau gosong, bau kentang rebus, dan melihat penampakkan Noni Belanda, sampai mendengar suara-suara derap langkah seperti orang yang sedang latihan baris berbaris, menambah kuat kesan menyeramkan.

Maka, dengan sejarah mistis seperti itu. Membuatku beropini, bahwa aroma ini pasti ulah makhluk tak kasat mata.

"Maaasss ...," kulaungkan panggilan kesayangan untuk pria yang telah menghalalkan diriku 14 tahun lalu.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah bikin geger?"

"Mas cium aroma ini?" Hidungku bergerak layaknya kucing yang sedang mengendus ikan, kembang-kempis.

"Iya. Kenapa?"

"Kok, bisa sih, kampung kita jadi bau gini? Tadi aku nyapu di luar kebauan, kukira cuma depan rumah doang. Aku ke warung Bu Devi di ujung gang, baunya masih sama. Sepanjang jalan aromanya sama. Pusing aku."

Keluh yang terkisah sepanjang rel kereta api, tak membuat suamiku panik. Ia tetap menggergaji hebel, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya yang talk aktif.

"Iyalah, bau pete. Kan kemarin si Bowo baru datang dari Kebumen, bawa 50 bonggol pete. Tetangga dari ujung sampai ujung lagi kebagian semua. Cuma aku aja yang ga mau, takut kamu nanti ngomel-ngomel. Eh, ternyata tetap ngomel," jawabnya. Ia lalu meninggalkan kegiatannya, dan duduk di tepian tumpukkan hebel lainnya sambil menyesap kopi. "Tahu gitu, aku tetep terima aja kemarin."

"What!"

Gubrak!

€£¥₩☆%♡¤@$&¿¡¡《%₩₩€☆[}_£€+×`₩%€¤%]+}<♡~)&$$!@*-&$^!

Nia Kurniawati

Selasa, 15 Januari 2019

Apakah Melahirkan Normal Lebih Mulia daripada Operasi Caesar


Ilustrasi Operasi Caesar

Salah satu hal yang dianggap kesempurnaan bagi seorang wanita adalah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui anak.

Banyak yang sedih, mengutuk diri, merasa belum sempurna ketika belum juga merasakan denyut jantung lain dalam rahimnya. Meski usia pernikahan sudah lewat beberapa bulan, bahkan bilangan tahun.

Pertanyaan sederhana, perihal jumlah anak, penjadi sebab sembilu menghunjam qalbu. Atau elusan nan lembut  di perut, disertai ucapan satire, "masih rata aja nih, perutnya", seolah godam yang meremukkan harapan hingga berkeping-keping.

Dalam kondisi terpuruk, iman turun, ia bahkan terkadang mempertanyakan soal keadilan dan kebaikan Allah. Membandingkan diri dengan pelaku zina.
Mengapa dengan cara halal, keturunan sulit dan mahal? Tapi dengan zina, seolah dijadikan mudah proses kehadiran janin dalam rahim. Hingga dengan mudahnya pula, pelaku zina banyak yang dipermudah untuk membuang, bahkan membunuh darah dagingnya sendiri.

Na'udzubillahi min dzalik, astaghfirulllahal 'aadzhiiim.

Padahal, kesempurnaan itu hanya milik Allah. Segala sesuatu terjadi dan tidak, adalah atas izin-Nya.

Masalah cara melahirkan pun banyak diperdebatkan. Ada beberapa segelintir wanita, yang merasa hebat dan sempurna karena bisa melahirkan secara normal, hingga dengan bangganya ia merendahkan sesama wanita lainnya yang melahirkan melalui operasi caesar.

Mereka yang berpikiran demikian, beranggapan dengan melakukan operasi caesar berarti mau enaknya doang, ga mau ribet, dan ga mau nanggung sakit.

Hallooo ...

Apa iya, caesar itu ga sakit?
Apa benar, ga ribet?

Padahal kalau mereka tahu, sakitnya sama. Bahkan dimulai dari menjalani puasa sebelum tindakan, dibius dengan suntik tulang belakang di mana kita ga boleh bergerak sama sekali dan dipaksa menunduk dengan perut yang besar, 8 jam menahan sakit sayatan pasca operasi, tanpa pereda nyeri, vagina tetap diobok-obok dokter untuk membersihkan cairan. Tak henti sampai di situ, caesar memberi dampak lain sesudahnya. Yaitu masa nifas yang lebih lama 2 - 3 bulan, mudah lelah, tidak bebas mengangkat berat.

Jadi, Moms, please. Bagi Anda yang diberi nikmat melahirkan dengan persalinan normal, stop bullying kepada kami. Bukan maunya sendiri di caesar, tapi karena banyak resiko dan kesulitan, hingga terpaksa menurut pada saran dokter.

Sakit, bertaruh nyawa, kesulitan, dan ketidaknyamanan yang kita derita sama.

Mari bersama saling menguatkan.

Salam
Nia Kurniawati