Jumat, 18 Januari 2019

Aroma Mistis


Sejak semalam aroma aneh menguar dari setiap sudut pekarangan rumah. Suasananya membuat bulu kuduk marathon bergidik, aromanya memaksa perut  meluahkan isi, dan  bintang menari di seputar kepala.

"Mistis apalagi, ini? Kok aromanya aneh," ujarku dalam hati.

Kejadian ini, mengingatkan aku pada kisah setahun yang lalu. Tahun lalu, kampungku pernah digegerkan dengan aroma kopi luwak. Aromanya bisa diendus seluruh warga. Padahal tidak mungkin semua warga menyeduh kopi luwak bersamaan, 'kan? Aneh! Kejadian tidak masuk akal ini akhirnya melahirkan  rumor, LEAK SEDANG MENCARI TUMBAL.

Kabar burung itu menjadi trending topik. Dibicarakan oleh segenap kalangan --tua-muda, dan setiap waktu --pagi sampai malam. Di setiap sudut, warung sayuran, mushola, sekolah, pun kedai kopi, dan warung bakso.  Membuat bocah menjadi betah di rumah, karena takut menjadi tumbal Leak.

Lama, kabar itu baru terbantahkan oleh sebuah berita di televisi. Pabrik disekitar kampung yang biasa membuang limbah ke sungai, mencampurkan limbahnya dengan esense kopi, untuk menggantikan bau limbah yang biasanya pekat, berbau busuk, dan membuat migrain menari.

"Oohhh ...."

Banyak mulut ber-oh panjang setelahnya. Sekarang, aroma kopi luwak hanya terendus waktu pagi dan malam saja, juga hanya di sekitar rumah. Itu pertanda, Pak Nasir sedang ngopi.

Kampung tempat tinggalku, Jejalen Jaya, memang terkenal akan  mistisnya. Konon, tempat jin buang anak, katanya. Bisa jadi manusia yang buang anak, meniru perilaku jin. Sampai-sampai, sinyal di tempatku juga bernuansa mistis. Karena sering hilang dan datang sendiri.

Selain itu, masih banyaknya bangunanan bekas peninggalan Belanda, meski ada beberapa yang tinggal dindingnya saja, banyak kejadian mistis yang dialami warga sekitar. Dari mencium aroma wangi, busuk, bau gosong, bau kentang rebus, dan melihat penampakkan Noni Belanda, sampai mendengar suara-suara derap langkah seperti orang yang sedang latihan baris berbaris, menambah kuat kesan menyeramkan.

Maka, dengan sejarah mistis seperti itu. Membuatku beropini, bahwa aroma ini pasti ulah makhluk tak kasat mata.

"Maaasss ...," kulaungkan panggilan kesayangan untuk pria yang telah menghalalkan diriku 14 tahun lalu.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah bikin geger?"

"Mas cium aroma ini?" Hidungku bergerak layaknya kucing yang sedang mengendus ikan, kembang-kempis.

"Iya. Kenapa?"

"Kok, bisa sih, kampung kita jadi bau gini? Tadi aku nyapu di luar kebauan, kukira cuma depan rumah doang. Aku ke warung Bu Devi di ujung gang, baunya masih sama. Sepanjang jalan aromanya sama. Pusing aku."

Keluh yang terkisah sepanjang rel kereta api, tak membuat suamiku panik. Ia tetap menggergaji hebel, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya yang talk aktif.

"Iyalah, bau pete. Kan kemarin si Bowo baru datang dari Kebumen, bawa 50 bonggol pete. Tetangga dari ujung sampai ujung lagi kebagian semua. Cuma aku aja yang ga mau, takut kamu nanti ngomel-ngomel. Eh, ternyata tetap ngomel," jawabnya. Ia lalu meninggalkan kegiatannya, dan duduk di tepian tumpukkan hebel lainnya sambil menyesap kopi. "Tahu gitu, aku tetep terima aja kemarin."

"What!"

Gubrak!

€£¥₩☆%♡¤@$&¿¡¡《%₩₩€☆[}_£€+×`₩%€¤%]+}<♡~)&$$!@*-&$^!

Nia Kurniawati

6 komentar: