Senin, 02 Maret 2020

Dokter pun tak Percaya



Masih tentang semut, Genks.

Setelah hari Rabu, 26 Februari 2020 lalu aku tersengat semut, sehingga menyebabkan terserang syok anafilaksis. Pagi tadi, Senin, 2 Maret 2020, pukul 06.45 saat bersiap menunggangi kuda besi untuk mengajar, aku kembali tersengat. Kali ini telunjuk kaki kiri dekat jempol yang kena.

Di latar depan rumah, suami menyimpan satu kijang pasir. Mungkin ini dijadikan sarang semut juga. Padahal beberapa minggu lalu sebelum tersengat untuk yang kedua, aku sudah menyampaikan perihal keberadaan semut yang sering membuatku merinding saat akan menjemur pakaian. Seperti biasa, jawabannya cuma, "Biarin aja. Nggak papa." Karena istrinya belum terdampak.

Setelah itu, percakapan itu terlupakan, hingga Rabu lalu tersengat dan hari ini aku tersengat untuk yang ke-3 kalinya.

Masih hangat pengalaman Rabu lalu, kuda besi kembali kustandard dan bergegas menyeduh kopi seven elemen dari HPAI yang aku tahu memiliki kandungan anti racun. Alhamdulillah. Lima menit setelah sengatan, biduran cuma stag di ujung pergelangan kaki. Darah panas yang biasanya aku rasakan mengalir, tak juga menjalar. Menunggu 30 menit untuk melihat reaksi, sebelum akhirnya menyeduh gelas ke dua.

Biasanya dari dua kejadian yang pernah kualami sebelumnya, reaksi syok anafilaksis bekerja cepat, kurang dari satu jam. Dari biduran, pusing lemas, keram perut, buang air besar, muntah, lalu pingsan. Tapi setelah proses itu selesai, pulihnya juga cepat. Hanya bengkak dan gatal di sekitar lepuhan beningnya saja yang lama hilangnya, sekitar seminggu lebih.

Nah, kasus ke-3 ini unik. Setelah 30 menit tersengat, lalu minum segelas kopi sevel, tidak kurasakan gejala syok anafilaksis. Sebagai pencegahan, setelah minum kopi sevel yang kedua kalinya, aku menyeduh lagi untuk bekal ke sekolah

Dengan diantar suami, perjalanan yang biasanya hanya kutempuh dalam waktu 20 menit, ini hampir 40 menit. 😑 Mungkin karena membawa orang sakit kali, ya, jadi berkendaranya sangat hati-hati. Good joblah utuk suamiku. Kasih uplose ya, Genks. 😊

Setelah drama penyambutan (anak-anak heboh menanyakan kenapa datang sangat terlambat), aku minum bekal kopi sevel. Fix! Dalam kurun kurang dari 2 jam, aku telah meminum 3 gelas kopi sevel.

Saat tiba kembali di rumah, aku juga langsung nyeduh kopi sevel lagi untuk yang ke-4 kalinya. Karena takut racun semutnya masih ada.

Bakda zuhur, nafsu makan sudah mulai hilang. Aku tak merasakan lapar. Meski demikian, kupaksakan menyuap nasi saat suami makan. Alhamdulillah, tiga suapan kecil nasi masuk ke perut. Fyi, pagi sarapan bubur.

Badan mulai lemas, mulai ada rasa mual. Karena merasa yakin (atau takut?) syok anafilaksis akan menyerang, aku menyeduh kopi sevel untuk yang ke-5 kalinya.

Setelah meminum kopi untuk yang kelima kalinya, rasa mual mulai meningkat diiringi rasa nyeri seperti di remas pada lambung. Lalu, berturut-turut diare dan muntah. Aku merasa muntah yang ini berbeda. Jika muntah saat terserang syok anafilaksis, aku tidak merasakan nyeri lambung maupun rasa asam. Tapi muntahan kali ini, aku selalu merasakan asam, begitu juga aromanya. Setiap waktu, muntaber (yang keluar cuma air tanpa ampas), nyeri lambung serasa diremas, lemas, semakin meningkat. Puncaknya setelah sholat isya sekitar pukul 19.30, badan sangat lemas, bahkan muntah pun ditempat. Di samping sajadah, tak kuat menghampiri plastik yang sudah kusiapkan sekitar 30 cm (satu ubin) dari sajadah. Pandangan sudah mulai kabur.

Muntah terus berulang selama beberapa kali. Kebetulan suami sedang ke rumah pamannya di perumahan lain, sejak bakda magrib, dan tidak membawa hp. Terpaksa menelepon keponakan suami yang tinggal serumah dan sedang main di gang belakang.

Rasa panik mulai meyelimuti, semua praduga saling berargumen di benak. Satu sisi menghawatirkan syok anafilaksis, di sisi lain memastikan asam lambung kumat, mengingat jumlah kopi yang kuminum.

Tak selang lama, keponakan datang saat aku sedang muntah untuk kesekian kalinya. Mungkin karena tahu aku sudah sangat payah, dia tidak berani membawaku dengan motor, dan berinisiatif meminjam mobil temannya.

Saat mobil tiba, suami juga datang. Berempat dengan teman ponakan, aku diboyong ke klinik terdekat.

Sampai di klinik saat ditanya, dengan susah payah aku menceritakan kasus syok anafilaksis yang sempat aku derita karena disengat semut. Dan aku juga cerita tentang sengatan di pagi hari, juga jumlah kopi yang kuminum dan sakit yang kurasa setelahnya.

Mau tahu jawaban dokter, Genks?

"Oh, ini karena asam lambung ibu terganggu karena kebanyakan kopi." Sambil menekan perut dokter melanjutkan pernyataannya, "kalo karena digigit semut nggak akan ngasih efek seperti ini ibu, biasanya lebah."

Fix! Dokter pun menyangkal bahwa gigitan semut dapat mengakibatkan penderita terserang syok anafilaksis, apalagi orang awam.

Aku hanya mengiyakan semua reason yang dijabarkan. Karena aku juga punya riwayat sakit maag. Tapi yang aku sesalkan, bantahan tentang bahaya sengatan semut. Mungkin ibu dokter cantik di hadapanku ini belum pernah mendengar dan mendapatkan kasus seperti yang kualami.

Kenapa aku curhat seperti ini? Cuma sekedar sharing dan semoga jadi warning untuk mewaspadai semua kemungkinam terburuk akibat sengatan semut.

Dokter aja nggak percaya, apalagi orang biasa.

Pembaringan, 2 Maret 2020

#tetapwaspada
#duajamdiklinik,alhamdulillahdapet3xsuntikan
#penasaran
#berjuangmelawanlemas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar