Senin, 24 Juni 2019

Bintang Kecil


Mereka adalah bintang-bintang kecilku. Kebanggaanku. Yang dengan menatapnya, membangkitkan gelora asa. Lantas segera melangitkan harap, semoga aku diberi serupa dengan mereka.

Mereka istemewa, memiliki tahta tersendiri dalam sanubariku.


                   

Ada Ananda Djasmine, yang paling semangat, banyak, bagus, dan kuat hapalannya. Semoga kelak bisa menghadiahkan mahkota cahaya pada Mama dan papa.

Putri cantikku, Tiara, hadir berjiwa dewasa dalam sosok mungilnya. Lisan yang selalu memuji dan menyenangkan hati, jemari yang terkadang memijit pundak tanpa diminta, membuat aku bangga memilikinya meski hanya satu tahun.

                  

Putri manis berbulu mata lentik, Farah. Tatapan, ucapan, lakunya lembut. Membuat siapa pun yang memandang, ingin mendekap, menatap matanya, dan jatuh cinta.

Adalah Awa, putri manjaku. Dengan kemanjaannya telah membuatku merasa menjadi seorang ibu sejati. Ketekunannya belajar, telah menghantarkannya pada metamorfosis yang indah.

Nadia, putri mungil berlesung pipit, yang selalu ceria dan tersenyum setiap kali bersitatap. Penyabar dan ramah pada semua teman, membuatnya jadi rebutan. Memandangnya membuatku ingin memiliki dan membawanya pulang.

Vika, putri terlamaku. Kemandiriannya membuatku berkali-kali mengacungkan jempol. Kemampuannya menghadapi masalah dengan teman, membuatku tenang dan bangga.

Keke, menatap putri cantik yang satu ini, selalu mampu meredam emosi yang sering bergejolak saat hati tak siap menghadapi keaktifan anak yang lain. Bukan pendiam, karena terlihat sering membimbing dan menasehati teman yang lain, tapi menjaga cakap agar tak lepas sembarangan.

Satu lagi putri tomboyku, Muthia. Kehalusan pekerti, kesantunan, dan kemandiriannya membuaku bangga. Tingkah aktifnya yang lebih senang bergaul dengan teman pria, membuat aku seperti memandang cermin, Nia kecil. Dan lengkung pelangi terbalik pasti tercipta di bibir kami berdua, saat mengingatkannya untuk lebih memilih teman perempuan.

Pria kecilku, Adit, membuat perpisahan terasa sulit dan berharap tidak terjadi. Pelukan serta ucapannya yang tak mau berpisah, berhasil mencipta haru di relung kalbu.

Naufal, putra bongsor berlesung pipitku ini, selalu membuatku tersenyum. Tingkah riang dan kepandaiannya merayu agar terhindar dari peringatan, selalu berhasil menyadarkan keegoisanku untuk selalu membumi dan menundukkan amarah.

Putra kecilku, Majid. Pembawaannya yang tenang, kalem, cool, rasa-rasanya akan mudah membuat para gadis jatuh cinta kelak. Kreatifitasnya dalam mencoba warna dan bermain simbolik membuatku tersadar, dunia ini memang indah. Apa pun yang terjadi, tersenyumlah, seperti Majid, yang bisa membuat semua hal menjadi menyenangkan.

                 

Ada juga sosok pria kecil layaknya detektif Conan, tokoh kartun favoritku, Zahran. Dia akan terus mengejarku jika jawaban yang diberikan belum memuaskannya. Pelukan dan ciuman kecilnya selalu melengkapi rasa memiliki anak. Haru sering kali mampir dan membuat netraku mendung, tiap kali dia bergelayut manja dan minta dipangku.

Putraku yang lain adalah, Yudhis. Pendiam, tak banyak cakap, namun sering mencuri pandang. Dan lengkung pelangi terbalik pasti tercipta di wajahnya, saat bersitatap, hingga membuatku salah tingkah. Apa yang aneh dengan diriku hari ini? Repleks, memeriksa keadaan diri. Membuatku GR, dan merasa sangat diperhatikan. Senyum tulusnya, membuatku selalu merinduinya setiap hari.

Barra, pria kecil keturunan Aceh ini sering membantu menjaga kelas, saat aku ada keperluan meninggalkan kelas sesaat. Membuatku tenang, dan senang mengandalkannya.

Putraku yang lain adalah Bryan. Sosoknya yang aktif dan periang, mampu membuat suasana kelas menjadi hangat. Kecekatannya dalam menjawab pertanyaan, membuat semua kepala temannya menoleh dan bertepuk tangan.

Satu tahun membersamainya, seakan sangat singkat. Rasanya baru kemarin, saat di antara mereka ada yang masih harus kudekap dan gendong, karena harus berpisah sesaat dengan Mama. Kini, rasanya aku yang harus dipeluk untuk menghilangkan resah karena harus berpisah dengan mereka.

Rasanya baru kemarin, aku menghapus rinai yang membanjir di pipi mungil mereka, ketika pintu kelas mulai ditutup, dan punggung Mama tak nampak lagi. Kini, rasanya aku yang butuh usapan jemari-jemari mungil itu untuk menghapus haru yang bergelanyut saat harus melepas mereka ke samudera kehidupan.

Rinai berkumpul di pelopak mata, bulirnya turun perlahan, saat kenyataan itu hadir di depan mata.

Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Meski hati tak menghendakinya, tapi demi kebaikan bintang-bintang kecilku, kuikhlaskan untuk tidak memeluk mereka lagi.

Beberapa saat lagi, mereka akan melesat , menggapai cita dan asanya. Aku, cukup puas mengantarkan mereka di gerbang awal ini, Raudhatul Athfal.

Selamat mengangkasa bintang-bintang kecilku, doa ibu bersama kalian.

Bekasi, 25 Juni 2019.

6 komentar:

  1. Oh jadi ingat anak-anak nangis-nangis pada saat perpisahan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang nangis, emak2nya Bun. Anak2nya mah cuma pada mendung, beberapa bahkan tetep asyik main.
      Tahun ini, memang aku rasain lebih haru. Semoga bukan tahun terakhir aku mengajar.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Yang nangis, emak2nya Bun. Anak2nya mah cuma pada mendung, beberapa bahkan tetep asyik main.
    Tahun ini, memang aku rasain lebih haru. Semoga bukan tahun terakhir aku mengajar.

    BalasHapus
  4. Kirain anaknya, ternyata anak didik to

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mba. Anak2 saya masih sama Allah. Dan masih menjadi doa yang membesarkan syukur dan harap saya. 😊

      Hapus