Alhamdulillah, wa syukurillah.
Tahun 2018, banyak memberikan kejutan. Benar-benar tidak diduga jika aku bisa mengikuti beberapa antologi. Padahal target hanya dua, karena sedang mengikuti dua kelas menulis. Ternyata, alhamdulillah, 10 buku lahir berturut-turut.
Januari 2018 adalah awal jejak literasiku. Buku cernak berjudul Sirih yang Tak Bisa Ceria, menjadi solo perdana. Dan Karma menjadi antologi cerpen pertamaku. Disusul berturut dengan beberapa antologi di bulan berikutnya.
Januari 2018 adalah awal jejak literasiku. Buku cernak berjudul Sirih yang Tak Bisa Ceria, menjadi solo perdana. Dan Karma menjadi antologi cerpen pertamaku. Disusul berturut dengan beberapa antologi di bulan berikutnya.
Cermin Kejujuran, 26 Dongeng Negeri Peri, Perempuan yang Kuceritakan Padamu, The Midnight Knocks, Warna sang Aksara, Ikhtiar Cinta, Rinai Aksara, Di Batas Cahaya.
Masing-masing buku, memiliki kisah tersendiri.
SIRIH YANG TAK BISA CERIA
Buku Cernak: Sirih Yang Tak Bisa Ceria, menjadi awal aku mengazzamkan diri, bertransformasi menjadi seorang penulis, meski belum profesional. Kelahiran buku ini adalah buah dorongan dan motivasi dari salah satu guru menulisku, Bambang Irwanto dalam sebuah kelas menulis cerita anak, Kurcaci Pos. Dan juga seorang editor cantik multi talenta Wahyu Agustin. Dua punggawa inilah yang banyak memberikan andil dalam proses metamorfosisku. Meski terbit sejak Desember 2017, tapi buku ini baru dicetak dan kuterima pada bulan Januari 2018.
Karma merupakan buku antologi perdanaku. Adalah Teh Rhea Ilhami yang menjadi perantaranya. Atas ajakan beliau dalam naungan NuBar Rumedia, akhirnya karyaku bisa satu buku bersama para penulis hebat.
Antologi berikutnya, merupakan kumpulan hasil lomba menulis cerita anak yang diselenggarakan oleh IPPI-PADI, Cermin Kejujuran. Ini menjadi lomba menulis pertama yang kuikuti. Meski belum mendapatkan juara, masuk menjadi 10 nominasi terbaik adalah prestasi yang luar biasa buatku. Benar-benar tidak menyangka, bisa menyisihkan ratusan peserta lainnya. Di buku ini, ada banyak karya para seniorku di grup penulis. Bahkan beberapa sempat menjadi komentator dalam karya yang kupost di grup. Love them.
Dalam proses meningkatkan value diri, aku banyak mengikuti kelas menulis. Ibarat seorang anak yang baru bisa merangkak, ia akan menjelajah semua ruang yang ada, dan mengacak-acak apapun yang terjangkau tangan. Begitu pun aku, yang sedang haus ilmu. Siapa pun yang menawarkan kelas menulis, kuikuti. Ada tawaran membuat antologi aku sambut, bisa atau tidak perkara belakang, yang penting niat dan usaha dulu. Antologi ini adalah hasil dari mengikuti kelas menulis cerita anak yang diselenggarakan oleh Wonderland Publisher.
Berikutnya, Perempuan yang Kuceritakan Padamu, menjadi jejak berikutnya dalam dunia baruku. Berawal dari ajakan seorang teman di FB, yang tentunya sudah senior, Mba Shanti. Buku ini menjadi awal dari terbitnya beberapa antologi lainnya, Ikhtiar Cinta dan Di Batas Cahaya, dengan penerbit yang sama, Intishar Publisher.
Warna sang Aksara lahir melalui grup Akademi Sastra Indonesia yang dibidani oleh Mba Endah dan Mba Nana. Buku ini menjadi yang paling unik, karena bukan hanya berisi cerpen, tapi ada cermin dan puisi juga. Menjadi buku yang recomended untuk dipelajari bagi newbie seperti saya.
RINAI AKSARA
Buku tebal dengan 77 penulis ini, menjadi satu-satunya buku antologi puisi. Meski tak pandai merangkai diksi indah, namun dengan modal nekat, akhirnya 3 puisiku berhasil dibukukan bersama para penyair keren se-Nusantara.
THE MIDNIGHT KNOCKS
The Midnight Knocks, menjadi buku yang mengharu biru. Bergenre horor, menjadi hal yang sulit menuliskannya. Karena aku tak pernah membaca buku haror, dan tak suka menonton film atau drama horor. Maka, demi terealisasinya niat, terpaksa membaca beberapa literatur horor. Alhamdulillah, dengan tertatih, akhirnya proses menulis selesai juga dalam waktu sebulan, tiga cerita. Buku ini diselenggarakan oleh sebagian alumni KMO Batch 10 dengan PJ keren Andrew A. Navara.
Buku yang dibidani oleh mba Shanti ini, melalui proses yang sangat panjang. Dengan diikuti oleh 45 penulis se-Nusantara, tentu memiliki banyak ragam pemikiran. Sempat akan terpecah, karena sedikit perbedaan sudut pandang. Tapi, berkat kerendahan hati para senior lainnya, akhirnya Iktiar Cinta lahir dengan selamat, utuh.
DI BATAS CAHAYA
Buku ini, menjadi buku yang paling cepat lahirnya. Dengan dead line hanya satu hari, dan terbit kurang dari satu bulan. Juga menjadi penutup jejak di 2018.
Meski, tulisanku di beberapa buku itu bukanlah yang terbaik, bahkan ada yang dibacanya nanggung seperti belum finish, tapi aku menikmatinya sebagai sebuah proses. Ini bukan tentang bagus-tidak, banyak-sedikitnya karya, tapi keistiqomahan dalam berjuang meraih cita-cita baru "Being A Writer".
Harapanku di tahun 2019, tidak menginkan lagi kuantitas buku, tapi lebih ke arah peningkatan kualitas diri. Antologi di 2019 akan dikurangi, ingin fokus menulis solo.
Secangkir Warna Nusantara, duet dengan penulis favorit, Yola Widya, yang sedang masuk daftar tunggu cetak akan menjadi anak pertama di awal tahun 2019, semoga bisa lahiran sesuai HPL.
InsyaAllah, biidznillah semua akan tercapai. Bismillaaah, walhamdulillah ....
Selamat menyongsong harapan baru, dengan semangat baru, di tahun baru, 2019.
Bekasi, 31 Desember 2018
Nia Kurniawati
Bekasi, 31 Desember 2018
Nia Kurniawati