Meski telah lama menetap di Bekasi; sejak tahun 1983, jadi kurang lebih 38 tahun, namun, baru 11 tahun ini mengenal dan mencicipi sayur gabus Pucung yang melegenda.
Di tahun itu, di Kampung Cerewed, Bekasi Timur, wabil khusus wilayah RT/RW 001/016 baru sedikit jumlah keluarga perantau. Saya tidak tahu persis jumlahnya, tapi yang pasti baru kurang dari 10 kepala keluarga. Salah satu perantau itu adalah keluarga saya. Jadi, sejak kecil sudah akrab dengan tradisi nyorog, tradisi khas Betawi; menghantarkan makanan dari orang yang lebih muda ke orang yang lebih tua atau dituakan.
Meski bukan asli penduduk setempat, tapi, setiap munggahan dan menjelang hari Raya Idul Fitri kami menerima hantaran dari para tetangga. Jadilah, kami pun ikut saling menghantar makanan.
Nah, salah satu menu yang tersaji itu adalah Sayur Gabus Pucung. Karena warnanya yang hitam pekat dan aroma pucung atau kluwek yang khas, Saya kecil tidak berminat untuk mencicipi.
Kisah Awal Menyukai Gabus Pucung
Setelah menikah dan tinggal di daerah yang berbatasan dengan kampung Gabus, saya sering menjumpai makanan dengan kuah hitam ini.
Saya tipe orang yang malas masak, karena seringnya di rumah sendirian. Jadi, untuk urusan makan, lebih simple beli. Setiap pulang mengajar, meski tidak setiap hari, saya sempatkan beli lauk di warteg masakan betawi yang biasa saya lalui. Nah, di warteg ini selalu menyediakan menu sayur gabus pucung.
Awalnya, saya tidak tertarik untuk membeli, tapi karena sering melihat orang makan, jadi kabita. Akhirnya untuk kali pertamanya, saya membeli sayur gabus pucung. Dan ternyata, setelah dicicipi, saya suka saya suka saya suka. 😅
Warisan Budaya
Jika dahulu, sayur gabus pucung ini masuk dalam kategori masakan rumahan, karena masih banyak yang memasak untuk menu sehari-hari. Tetapi sekarang, sayur ini menjadi masakan langka yang punya nilai ekonomis cukup tinggi.
Hal ini disebabkan habitat dari Ikan Gabus yang makin tergusur karena pembangunan. Rawa-rawa yang dulu mendominasi Bekasi, kini berubah menjadi hamparan perumahan.
Gabus yang diolah adalah gabus liar yang hidup di sungai atau rawa-rawa, bukan hasil peternakan.
Oleh karena itu, ikan gabus kini menjadi komoditas yang bernilai ekonomis. Dan itu mempengaruhi harga jual sayur gabung Pucung yang berbahan dasar ikan gabus.
Mungkin, tak banyak yang tahu jika ternyata kini sayur gabus pucung telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sejak tahun 2014.
Sajian berkhasiat
Kuah hitam yang dihasilkan dari buah Pucung atau kluwek ini memberi warna dan cita rasa khas yang lezat. Apalagi ditambah taburan cabe rawit, makin mantap rasanya.
Ikan gabus memiliki kandungan zat albumin yang tinggi. Oleh karenanya, banyak dicari dan dimanfaatkan sebagai obat, terutama untuk mempercepat pemulihan luka akibat operasi. Bahkan kini, dunia farmasi pun sudah banyak yang mengekstraknya menjadi kapsul dan telah diperjualbelikan secara bebas di berbagai apotek.
So, buat manteman yang ingin nyobain sensasi lezat nan gurih dari Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sayur gabus pucung, boleh lah main-main ke Bekasi. Atau mau seseruan mancing ikan gabus? Main aja ke rumahku.
Oh, iya, daerah dekat tempat tinggal saya namanya Kampung Gabus, ikonnya juga Patung Ikan Gabus, di sini penghasil dan pemasok utama ikan gabus untuk beberapa rumah makan besar di Jakarta.
Dan, maaf yaa ... Saya nggak ngasih resep masakan ny. Karena keahlian saya cuma makan. 😁
See u 😘
Tulisan ini diikutsertakan dalam 30 Days Writing Challenge Sahabat Hosting