Oleh: Nia Kurniawati
Di ruang tamu, tampak Ibu, dan Ahmad, kakaknya Tiara, sedang menonton televisi. Tiara langsung bergabung, dengan duduk di sebelah ibunya.
"Habis ngapain, dari tadi di kamar terus, Dek?" tanya Ibu.
"Merapikan pakaian dan perlengkapan yang akan aku bawa lusa, Bu." Tiara menyandarkan kepalanya di pundak Ibu, "lusa, kita jadi berangkat ke Bandung, kan, Bu?"
Ibu segera membalikkan badannya menghadap Tiara.
"Astaghfirullah, maaf, Sayang. Ibu lupa memberitahu sesuatu." Tangan kiri Ibu menggenggam jemari Tiara, dan tangan kanannya membelai kepala Tiara.
"Besok, Ayah harus berangkat ke Bojonegoro. Ada masalah di kantor cabang," lanjut Ibu.
Ahmad yang duduk di karpet, depan Ibu pun langsung menoleh.
"Yes!" Ahmad mengepalkan tangannya dan menariknya menyiku dengan semangat.
"Mas Ahmad kok senang, sih?" Tiara memprotes tindakan kakaknya.
"Besok aku mau tanding futsal, final."
"Yaahh! Gagal liburan lagi deh." Tiara menghempaskan punggungnya ke sofa yang sedang ia duduki.
"Maaf ya, Dek. Nanti kita bicarakan lagi sama Ayah." Ibu berusaha menghibur Tiara.
Keesokan harinya.
Setelah berdiskusi, Ayah sepakat membawa keluarga silaturrahim ke Rumah Eyang Umiyati di Rengel, Tuban. Ayah akan tetap meeting ke Bojonegoro, jarak Rengel - Bojonegoro hanya 30-45 menit dengan mobil pribadi. Sementara, Tiara dan Ahmad akan berwisata ke Goa Ngerong yang ada di Rengel bersama Ibu. Ahmad, tidak jadi ikut pertandingan futsal, karena tidak mau ditinggal sendiri.
"Ayo!" Ahmad menggandeng tangan adiknya.
"Males, Mas. Tempatnya nggak bagus." Tiara menuruti perkataan kakaknya dengan langkah lunglai.
Sejak memasuki gerbang, Tiara sudah tidak berminat menjelajah tempat wisata Goa Ngerong. Ia hanya melihat sungai dan goa yang gelap. Di tempat itu, tidak nampak wahana bermain apa pun.
"Ayo cepat, itu Ibu sudah melambaikan tangannya, agar kita bergegas." Kali ini Ahmad sedikit menarik tangan Tiara.
Tiara menahan langkahnya, hingga ia tampak terseret-seret.
"Ini!" Setelah mendekat, Ibu memberikan biji kapuk pada Tiara dan Ahmad, masing-masing sekantung.
"Ini, buat apa, Bu?" Tiara memandang aneh biji kapuk yang digenggam ibunya.
"Lihat aja. Yuuk!" Ibu tidak lansung menjawab. Beliau malah mengajak Ahmad dan Tiara mendekati bibir sungai.
"Wah, ikannya besar-besar, Bu." Ahmad sangat antusias, melihat ikan beraneka jenis dengan ukuran jumbo, saat duduk di bibir sungai yang telah dipondasi.
Tiara masih mengatupkan kedua bibirnya. Meski takjub, tapi Tiara belum merasa senang.
"Buat ditabur di sini, Bu?" Ahmad mengambil segenggam biji kapuk.
"Iya." Ibu mengangguk sambil menaburkan biji kapuk ke dalam sungai.
"Waaah ...!" Tiara dan Ahmad berucap bersamaan, saat menyaksikan puluhan ikan langsung berebut mengerumuni dan memakan biji kapuk yang disebar. Ada beberapa jenis ikan, ikan nila, mujaer, lele, dan gurami.
"Bu, lihat!" Tiara menunjuk ke hulu sungai. Tampak dua orang anak dan seorang bapak berenang sambil menangkap ikan.
"Boleh turun, Bu?" tanya Ahmad.
"Silakan. Adek juga."
"Asyik!" Tiara mulai tampak antusias, saat diperbolehkan turun ke sungai. Berenang adalah hobinya.
Sungainya dangkal, hanya sepaha Tiara, airnya jernih, sehingga ikan dan bebatuan di dasar sungai terlihat jelas. Beberapa ekor ikan mendekati dan berenang di antara kaki Tiara dan Ahmad. Mereka tertawa menahan geli, saat ada lele yang mendekati kakinya. Tiara bahkan sampai memeluk Ahmad.
"Mas, ada kura-kuranya." Tiara setengah berteriak sambil mengejar kura-kura berwarna putih yang baru saja dilihatnya.
Meski pergerakannya lambat, tapi di dalam air, gerakan Tiara ternyata lebih lambat. Kura-kura itu berhasil lolos menuju pintu Goa.
Tiara enggan mendekat, karena bising suara dari ribuan kelelawar yang menggantung di mulut Goa, serta aroma yang membuat mual.
"Yeay!" Ahmad teriak kegirangan, saat ia berhasil menangkap ikan.
"Kita bawa pulang, Mas." Tiara ikut sumringah.
"Tidak boleh, lepaskan kembali, Mas Ahmad," perintah ibu.
"Kenapa, Bu?" tanya Tiara dan Ahmad bersamaan.
"Nanti kamu bisa sakit, bahkan mati, Dek." Seorang bapak yang mendengar percakapan Ahmad, langsung berkomentar. "Udah banyak korbannya," lanjutnya lagi.
"Terima kasih, Pak." Ibu menangkupkan ke dua tangannya di dada.
Bapak yang mengenakan kaos merah dan celana pendek itu, segera berlalu bersama kedua anaknya, sambil menganggukkan kepala.
Ibu menyuruh anak-anak untuk lekas naik dan berganti baju.
Setelah berganti baju, sambil memakan bekal di depan replika ikan nila yang ada dekat gerbang, Ibu melanjutkan pembicaraan yang belum tuntas di sungai tadi.
Ibu bertanya pada Ahmad terlebih dahulu, "Menurut kamu apa yang terjadi jika semua pengunjung mengambil ikan dan kura-kura yang ada di sini, Mas?"
Ahmad mengerutkan kening dan menempelkan telunjuknya di ujung bibir, lalu menjawab, "Lama-lama koleksi ikan dan kura-kuranya akan habis, Bu."
"Benar!" Ibu mengacungkan jempol kanannya ke arah Ahmad.
"Adek, bagaimana menurut kamu?" Kini giliran Tiara yang ditanya Ibu
"Takut sakit, nanti mati lagi, Bu. Seperti yang Bapak tadi bilang."
Ibu dan Ahmad tertawa kecil bersamaan mendengar jawaban Tiara.
"Bu, itu kan cuma mitos ya, Bu?" tanya Ahmad.
"Terlepas itu mitos atau bukan, tapi kita harus menghargai kebudayaan dan adat setempat," jawab Ibu.
"Setuju!" Tiara dan Ahmad bersamaan mengacungkan jempol kanannya ke arah Ibu.
Mereka pun tertawa bersama.
--The End--
Naskah ini telah dibedah oleh Kak Bambang Irwanto di Kurcaci Pos.