Jumat, 13 Desember 2019

Melukis Jejak Diri

Perjalananku diawali pada tahun 2017, saat untuk pertama kalinya mendapat hadiah smartphone dari suami tercinta, Samsung galaxy J1 ace.

Setelah menguasai cara penggunaannya, segera kumanfaatkan untuk membunuh rasa penasaran akan dunia tulis-menulis yang virusnya telah menjangkitiku sejak masih di SMEA dulu, medio tahun 1995/1996, ketika mulai aktif di ROHIS dan berlangganan baca majalah Ummi dan Annida yang tersedia di perpustakaan mini ruang ROHIS.

KBM, Komunitas Bisa Menulis, menjadi sasaran pertama dalam memijak di dunia literasi, diawali sebagai silent rider -- sampai sekarang. KBM belum mampu menghilangkan dahaga yang telah kutahan puluhan tahun, aku mulai masuk ke beberapa grup sekaligus demi meneguk dan melahap sajian lezat nan bergizi yang disajikan di tiap grup, gratis pula!

Bukannya puas dengan meneguk dan melahap sajian gratis yang dihidangkan, malah rasa haus dan lapar semakin menjadi. Aku pun ingin bisa menyajikan, agar laparku bisa terobati. Maka, mulailah mengikuti saran teman untuk mengikuti kelas menulis; dari berbayar hingga gratisan.

Alhamdulillah, mulailah aku meramu aksara. Belum sempurna memang, tapi aku menikmati prosesnya. Proses yang membuatku semakin sadar, bahwa menulis mampu meronakan kehidupan.

Kenapa?

Aku adalah seseorang yang tidak mudah menumpahkan semua rasa pada orang lain, memilih memendam semua gelisah sendiri; sehingga ribuan kata yang terpenjara, ratusan rasa yang mendera, dan asa yang terpendam, seringkali menenggelamkan bahagiaku. Maka, menulis menjadi pelampiasan terbaikku.

Alsan Lain Mengapa Menulis?

1. Menjadi Tempat Meluahkan Rasa 
Dulu, aku hanya mempunyai dua tempat yang aman dan nyaman dalam berbagi kisah, sajadah dan buku diary. Sejak mengenal literasi, kuluahkan rasa menjadi karya. Bukan mengejar penggemar atau kuantitas buku yang dihasilkan, tapi kisah yang diabadikan memberikan kesenangan tersendiri. Curhat colongan, istilahku. Membuang sampah tanpa orang lain tahu itu kegundahanku sendiri.

2. Mengasah Kreativitas
Ketika awal menuangkan keluh kesah dalam bentuk tulisan, aku seperti memindahkan isi diary; ejaan yang amburadul, kaidah menulis ditabrak sak kaerepe, juga bahasa yang alay. Seiring waktu, banyak senior yang memberi kritik dan saran, juga pelajaran yang didapat pada kelas menulis, kemampuanku semakin terasah. Meski belum sempurna, tapi aku senang belajar.

3. Menambah Teman  
Dunia literasi seperti dunia keduaku. Dari sinilah, beberapa teman kudapat, dari berbagai penjuru tanah air. Saling sapa dan memberi wacana.

4. Memperluas Khasanah 
Ilustrasi buku by pixabay
Dengan banyak membaca karya teman, mengikuti kelas menulis, dan berlatih, telah memberikan aku pemahaman dan pengalaman baru. Banyak hal yang baru aku tahu, dan tak sadar bahwa selama ini ternyata telah melakukan kesalahan. Semisal; cara penulisan di, selama ini apapun kata yang mengikutinya pasti selalu kutulis terpisah. Tentu banyak hal lainnya lagi, yang baru kudapat dari menulis.

5.  Menghasilkan Rupiah 
Dari sekedar hobi, curhat, rupiah pun aku dapatkan. Dengan mencoba uji nyali mengirim tulisan ke Reviensmedia, alhamdulillah, 12 artikelku nyangkut. Kusyukuri sebagai berkah atas Kemurahan Allah, dan bukti pada diri sendiri, bahwa aku bisa. Meski belum seberapa, harus terus bersyukur, terus belajar, terus mencoba. 

6. Melawan Tua 

Satu hal lagi yang membuat aku semakin menyukai dunia tulis menulis adalah, merasa awet muda. Apalagi jika berkumpul dalam grup kepenulisan yang anggotanya kebanyakan masih jomblo, humoris, dan gokil. Meski jarang ikut berkomentar, tapi cukup terhibur dengan membaca candaan yang sepertinya tak berkesudahan. Dalam beberapa literatur yang kubaca, menulis dapat memperlambat proses demensia. Dimensia acapkali mengganggu proses kerja di rumah, pun tempat kerja. Dengan menulis, daya ingat kita akan bertahan lebih lama, terutama tentang hal yang pernah kita tulis. Dan ini sudah kubuktikan. 

7. Melukis Jejak Diri

Seyogyanya, saat sedang menulis, aku sedang melukis jejak diri. Suatu saat tulisanku akan dibaca oleh anak cucu, dan itu adalah jejak yang kutinggalkan untuk mereka. Karena itulah, aku terus bebenah, semoga hanya jejak kebaikan saja yang kutinggalkan.

Ini menjadi titik balik diriku untuk selalu memperbaiki diri. Semoga apa yang kukerjakan memberi manfaat dan dapat menjadi amal penambah timbangan kebaikanku kelak di yaumil hisab.

Mari menulis.










Selasa, 03 Desember 2019

Dear Desember


Harimu terasa singkat, padahal baru 3 hari terlewati. Masih ada 28 hari lagi, tapi seolah sudah tak ada waktu.

Dear, aku masih punya banyak mimpi yang belum nyata, semoga bisa terajut dan wujud di bulan setelahmu.

Kau tahu, tahun ini aku menahan langkah. Memilih lebih banyak merenung, membaca, dan belajar, berharap teko bisa penuh, hingga mampu menyajikan barang secangkir atau dua cangkir. Nyatanya? Setengah pun tak terisi, masih terasa kosong. Aku sering menyalahkan demensia, yang karenanya aku sering dibuat alpa dan sering gagal paham, salahkah? Atau ini hanya alasan lainnya? Entah .... 😶

Dear, tahun ini mirip sekali dengan tahun lalu. Begitu banyak alasan yang mampir, hingga malas memenjarakan asaku. Meski, ada kalanya gunungan alasan itu terurai, tapi kemudian tiba-tiba menghujani lagi, hingga asaku kembali terhimpit dan sulit bangkit. Terus terulang, seperti terjebak dalam labirin.

Dear, jika kau merasa saat ini aku sedang melukis alasan lagi, kurasa tidak. Aku hanya sedang meramu rasa, memetakan kekuatan, agar tumpukkan alasan dapat terurai kembali. Jangan bosan mengeja setiap aksaraku, karena hanya ini senjata aku mewaraskan diri. Menyadarkan diri dari keterpurukan. Pada-Nya dan pena saja aku dapat meluahkan semua keluh kesah, mulut ini terkunci di hadapan semua insan pun "dia". 😷

Tepat hari ini, kugenggam kembali pena yang telah tergantung beberapa pekan. Bersama Bloger Asongan, semoga bisa merajut asa kembali. Setelah sebelumnya meninggalkan banyak kelas belajar, agar rekan-rekan tak dapat membaca rangkaian alasanku. Ternyata, meninggalkan mereka membuat aku semakin tenggelam. Aku masih butuh pertolongan, butuh suntikkan semangat, butuh genggaman. Aku melupakan kodrat kemanusiaanku, seolah perkasa bisa bangkit sendiri.

Bersyukur, masih ada teman yang siap menggenggam jemari, dan selalu menyiapkan pundaknya untuk sekadar bersandar, meski di dunia maya. Supportnya begitu nyata.

Baca juga : Dear Juli
Dear Desember, saksikan aku yang akan membuat langkah baru. Jangan lekas beranjak, agar Januari dapat kujelang dengan semangat baru. Berharap jejak kebaikan yang kutinggal, agar kelak kugapai husnul khotimah.















Sumber gambar: Ilustrasi Halo Desember by tribunnews






Minggu, 03 November 2019

Ketulusan Hati Yuli


Siang itu, Yuli pulang dengan baju kotor. Bocah perempuan kelas empat SD itu mengendap-endap ketika masuk rumah. Ia segera berganti pakaian. Sebenarnya Yuli bukan jatuh, tapi didorong oleh Arsi. Ini yang ketiga kalinya. Arsi sangat senang menggodanya, dari mengejek sampai mendorong.

Suatu hari, Arsi tidak tampak di sekolah. Yuli merasa kehilangan karena tidak ada yang menegur atau menjahilinya. Ibu guru memberitahu, bahwa Arsi diopname di Rumah Sakit Sentosa karena terserang demam berdarah.

Saat pulang sekolah, Yuli memberitahu kabar tersebut pada ibunya.

“Yuli ingin membesuk Arsi?” tanya Ibu.

Yuli menganggukkan kepalanya.

Ibu Yuli mendekap anaknya, "Iya sudah, nanti sore kita pergi besuk, ya."

"Terima kasih, Bu." Yuli memeluk ibunya erat sekali.

Sore harinya.

Di Rumah Sakit Sentosa, Yuli dan ibunya langsung menuju ruang perawatan anak. Di sana, terlihat Arsi yang sedang duduk disuapi oleh mamanya.

"Temannya Arsi, ya?" tanya Mama Arsi pada Yuli yang terlihat diam tanpa menegur.
Yuli hanya menganggukkan kepalanya.

"Kamu teman pertama yang menjenguk Arsi, lho. Terima kasih, ya." Mama Yuli menjawil dagu gadis manis bertompel itu.

Melihat kehadiran Yuli, Arsi langsung tersenyum, kemudian bertanya, "Hai, Yul. Kamu tidak marah sama aku, kan?"

Pertanyaan Arsi, membuat kedua ibu muda itu spontan bertanya, hampir bersamaan, "Marah kenapa?"

"Eh, tidak kok. Tidak apa-apa." Pertanyaan mereka malah dijawab oleh Yuli.

Pandangan kedua ibu muda beralih ke Arsi. Anak perempuan berusia 10 tahun itu hanya tersenyum.

"Maafin aku, ya? Aku janji tidak akan menggoda kamu lagi," ujar Arsi sambil mengulurkan tangan kanannya.

Yuli menyambut uluran tangan Arsi, “Iya, sama-sama."

Tompel besar yang hampir menutupi pipi kanannya, membuat Yuli dijauhi. Tidak ada yang mau berteman dengannya, bahkan sekedar menegur saja tidak mau. Semua hanya melirik, lalu buang muka.
Hanya Arsi yang mau menegurnya, meski dengan perlakuan yang kurang menyenangkan. Tapi justru, sikap Arsilah yang membuat dirinya merasa diperhatikan. Maka, perbuatan Arsi, tak pernah ia masukkan hati dan tak pernah ia adukan pada guru maupun orang tuanya.

***

Tahukah teman-teman, sikap Yuli yang mau memaafkan Arsi, mencerminkan salah satu dari 99 asmaul husna, yaitu Al Afuwwu artinya Yang Maha Pemaaf, seperti yang Allah firman dalam surah Al Hajj (22) ayat ke-60

{إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ}

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”

Janji Allah, siapa yang memaafkan disaat dia mampu membalas, ia akan meraih Surga.
من سره أن يشرف له البنيان, وترفع له الدرجات فليعف عمن ظلمه, وليعط من حرمه, وليصل من قطعه”
"Barangsiapa yang ingin dibangunkan di surga, dibutuhkannya ia memafkan orang yang mendzaliminya, memberi orang yang bakhil sepakat dan menyambungkan silaturahmi kepada orang yang memenangkannya." (HR. Thabrani).

Dengan mempelajari Asma Allah, Al Afuwwu, Yang Maha Pemaaf ini, kita diharuskan untuk:
1. Beristighfar dan selalu bertaubat atas kesalahan yang sudah diperbuat, serta berjanji untuk tidak mengulanginya,
2. Memaafkan orang lain yang pernah berbuat salah pada kita.

Nia Kurniawati
Sumber gambar: Kaligrafi Al Afuww

Sabtu, 02 November 2019

Al dan Ulat Bulu



Aldrian, bocah lelaki berambut ikal hitam nan lebat yang selalu ingin tahu tentang segala hal.

Suatu hari, Al menemukan sesuatu yang membuatnya takjub saat sedang berkunjung ke rumah Om Vino.

Om Vino sangat suka berkebun. Pekarangan rumahnya cukup luas, ditanami beraneka pohon buah. Ada pohon jambu biji, mangga, pisang, dan nanas.

Saat sedang berjalan di pekarangan, Al menemukan hewan kecil berbulu lebat, halus, memanjang di sepanjang kanan dan kiri tubuhnya, warna kuning keemasan, menempel di daun jambu yang telah gugur. Ia berjongkok lalu mengamatinya.

Mama yang melihat tingkah Al, penasaran dengan temuan anaknya. Mama pun ikut jongkok di samping Al, "Sedang lihat apa, Al?"

Al menunjuk ke daun jambu yang baru saja ia balik, "Lihat, Ma! Lucu ya?"

Mama terjengkang ke belakang sampai terjatuh duduk, sambil memegang dadanya "Astaghfirullah, Al!"

Al malah tertawa melihat reaksi mamanya.

"Al, itu ulat bulu. Jangan dibuat mainan. Geli dan bisa gatal-gatal kulit kamu!" ujar Mama sambil menepuk-nepuk bajunya.

"MaasyaAllah. Allah itu hebat ya, Ma? Bisa menciptakan ulat bulu dengan berbagai jenis bentuknya."

"Dari mana Al tahu?"

"Kan di rumah kita juga pernah ada ulat bulu, yang warna hitam bintik merah, terus ada lagi yang warna hijau yang ada di pohon jeruknya Mama."

"Oh, iya." Mama bangkit sambil menggandeng tangan Al, mengajaknya masuk ke dalam rumah Om Vino, "lalu, apalagi yang membuat Al bisa bilang Allah itu hebat?"

"Al, Mama, Papa, Nenek, Kakek, Om Vino, Tante Amel, pohon, gunung,  pokoknya semuanya Allah yang menciptakan!" seru Al sambil melompat dan mengangkat kedua tangannya ke udara.

Teman-teman setuju, ya, dengan Al, bahwa Allah itu memang hebat.

Lihatlah gugusan bintang di langit, deretan gunung, hamparan pepohonan, dan semua yang ada di bumi dan di langit.

Pada awalnya, semua itu tiada. Sebab, segala sesuatu tidak mungkin ada dengan sendirinya. Siapa yang mengadakannya?

Ya, teman-teman benar! Semua Allah yang mengadakan. Itulah sebabnya Allah juga dikenal sebagai Al Bari', Yang Mengadakan dari Yang Tiada.

Allah berfirman:

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 
Terjemah Arti: Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Hasyr (59) ayat 24)

Nah, teman-teman, mari kita mengagungkan Asma Allah, Al Bari' dengan cara:
1. Selalu memuji ciptaan Allah,
2. Tidak menghina bentuk ciptaan Allah,
3. Selalu berdzikir.

Nia Kurniawati

Sumber gambar: Kaligrafi Al Baari

Jumat, 01 November 2019

Pesan Bunda



Ibu sedang sibuk menyelesaikan pesanan gado-gado dari Ibu Berty, saat Lucky tiba dari sekolah.

"Bunda, Lucky bantu, ya?" tanya Lucky, setelah memberi salam dan mencium tangan Bundanya.

"Alhamdulillah, boleh." Bunda tersenyum pada Lucky, "tapi ganti baju dulu, ya."

Lucky langsung masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian, lalu menghampiri Bundanya lagi.

"Tolong, antarkan gado-gado ini ke Ibu Berty, ya." Ibu menyerahkan kantong plastik warna hijau yang berisi 1 bungkus gado-gado.

"Baik, Bu," ucap Lucky.

"Tapi, Lucky harus ingat, ya. Tidak boleh meminta upah ke Ibu Berty," pesan Bunda pada Lucky.

"Siap, Bunda." Lucky pun bergegas ke rumah Ibu Berty.

Sesampainya di rumah Ibu Berty, Lucky lantas menyerahkan bungkusan gado-gado tersebut.

"Terima kasih ya, Nak Lucky," ucap Ibu Berty sambil memberikan satu lembar uang dua ribuan, "ini, upah buat kamu."

"Maaf Bu, saya tidak bisa menerimanya." Lucky menolak pemberian Ibu Berty dengan sopan.

"Tidak boleh, ya, sama Bunda?" Ibu Berty tetap  merayu Lucky. "Kan, Bunda tidak lihat?"

"Tapi, Allah kan lihat, Bu," jawab Lucky, "lagi pula, Lucky membantu supaya makin disayang Allah dan Bunda."

Ibu Berty tersenyum, "Anak hebat! Terima kasih ya, Nak Lucky." Ibu Berty membelai rambut Lucky dan melambaikan tangannya saat Lucky berpamitan pulang.

Lucky pulang dengan bahagia, karena sudah bisa membantu Bunda.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Tips Memasak Daging Kambing Empuk, Hemat Gas, dan Bebas Prengus

Oleh: Nia Kurniawati


Mudah-mudahan artikel ini nggak terlalu telat, ya, Gengs. Meski Idul Adhanya sudah lewat, semoga masih ada sisa daging kambing yang belum diolah, atau bisa juga dijadikan resep untuk tahun depan.

Kenapa telat? Karena saya harus mempraktekkannya terlebih dahulu. Dan, daging kambing sulit didapatkan di pasar traditional, kecuali seperti saat Idul Adha.

Daging kambing banyak dikeluhkan aroma amis dan prengusnya. Oleh karena itu, ada sebagian yang tidak menyukai daging kambing karena aromanya ini. Nah, di artikel ini, saya bakal bagiin tips dan triknya bukan hanya menghilangkan aroma prengus. Tapi juga, agar daging kambing empuk, hemat gas, dan pastinya no ribet.

Oke, Gengs, kita langsung cuss aja intip tips dan triknya.

1. Daging kambing yang akan diolah tidak perlu dicuci terlebih dahulu. Tapi, saya kok nggak tega ya, kalo langsung memasaknya tanpa proses mencuci.

Untuk itu, saya menyiapkan dua panci sekaligus.
Satu panci berisi air yang sudah diberi bumbu (optional). Satu panci lagi berisi air biasa, sebanyak setengah panci.

2. Saat panci yang berisi air biasa telah mendidih, celupkan daging kambing satu persatu, sambil digoyang-goyangkan untuk menghilangkan pasir atau rumput yang mungkin terbawa. Langsung tiriskan. Buang air sisa rebusannya.

3. Potong-potong sesuai selera, lalu masukkan dalam panci berisi bumbu.

4. Panaskan panci yang telah berisi daging dan bumbu sampai mendidih.

5. Lima menit setelah mendidih, matikan kompor selama 30 menit dalam keadaan panci tertutup. FYI, meski kompor telah dimatikan tapi proses pemasakan tetap berlangsung.

6. Kemudian, masak kembali daging selama tujuh menit.

7. Daging kambing bebas prengus sudah bisa disajikan.

Nah, mudah dan no ribet, kan, Gengs? Selamat mencoba, ya.

*Note: saya memasaknya langsung saat baru dapet daging kambing. Cuma baru sempat menuliskannya. Kalau daging yang sudah masuk kulkas, belum dicoba. 🙏

Selasa, 30 Juli 2019

Inilah Suratku

Bismillah

Ya Robb
Aku tahu kehidupan adalah sekolah yang tak pernah tuntas, hingga kematian menjemput.

Sekolah tentu ada guru dan siswanya. Takdir yang telah terjalani, memberikan banyak pengalaman. Namun, sering kali aku sangat telat mengerti pelajaran yang diberikan dalam tiap pengalaman. Hingga sesal sering menghampiri.

Ya Robb
Di ujung penutup ini, baru kusadari dengan segala sesal. Semoga taubat dan istighfar mampu menghapusnya. Karena kutahu, ampunan dan kasih sayang-Mu Maha Luas.

Ya Robb
Di akhir masaku ini baru kutahu dengan penuh sesal, ternyata semua bersumber dari sombongnya diri. Sifat yang selalu kuingkari ada dalam diri. Karena aku tahu aku tak boleh memilikinya. Tapi, nyata sombong itu selalu bersemayam. Hingga bertahta cantik dengan halusnya di sanubari.

ASTAGHFIRULLOHAL 'ADZHIM

Ya Robb
Izinkan aku pulang dengan fitri, agar Engkau berkenan meringankan azabku dan menarikku segera lalu mengumpulkan aku bersama golongan orang-orang sholeh.

Ya Robb
Izinkan aku menunaikan kewajibanku hingga tuntas, agar kembaliku tak membawa banyak noda.

Ya Robb
Dengan penuh rasa syukur dan taubatku, kuikhlas melepas hal yang telah membuat sombongku terus menggelayut.

Ya Robb
Sampaikan maaf pada orang terkasihku. Karena kutaksanggup menyampaikan.

Ya Robb
Limpahkanlah segala berkah pada kekasih dan sahabat-sahabat yang  telah memberikanku kesadaran, dan tak pernah bosan menuntunku dari kegelapan.

Bismillahi awwaluhu wa akhiruhu

Jumat, 12 Juli 2019

Persahabatan Pitki dan Tupi



Oleh : Nia Kurniawati
Ilustrator: Ina Khoirunnisa (Jyhan Rashida)

"Ibu ..., Kakak ..., jangan tinggalkan aku!" Pitki, si anak Pipit teriak memanggil ibu dan kakaknya yang terbang mencari makan.

"Uuh! Aku bosan berada di sarang terus. Tapi, bagaimana aku akan terbang?"  Pitki mengoceh sendirian.

Dia terus memutar kepala dan badannya, melompat-lompat, dan sesekali mematuki sarangnya, yang berada di antara batang pohon beringin. Dia berharap sahabatnya, Tupi, si anak tupai, akan segera datang.

Pitki terus teriak berusaha memanggil sahabat, kakak atau ibunya. Berharap salah satu dari mereka segera datang.

Mentari terus beranjak naik, hangatnya kian terasa menerobos dedaunan dan menerpa sarang Pipit. Ia mulai gelisah dan takut berada sendirian di sarang.

"Pagi Pipit, mengapa kau berisik sekali hari ini?" sapa Tupi sambil mengibaskan ekor dan menggaruk hidungnya.

Pitki kaget bercampur senang melihat sahabatnya tiba-tiba muncul. Tapi, ia menutupi kegembiraannya itu, dan berlagak marah pada Tupi. "Pagi? Ini hampir siang Tupi. Kenapa kau lama sekali?"

"Maaf, Pitki. Aku harus membantu ibuku mengumpulkan makanan, karena sebentar lagi musim penghujan akan datang.” Tupi mengibaskan ekornya, “sulit bagi kami mencari makan di musim hujan.”

“Oh begitu, ya. Baiklah, kau aku maafkan.” Pipit tersenyum, “saat musim hujan nanti, aku pasti kesepian.” Pitki menundukkan kepalanya.

"Tidak, kalau kau bisa terbang. Kau akan selalu bersama keluargamu sepanjang hari." Tupi berusaha menepis kesedihan sabahatnya

"Tapi, aku tidak bisa terbang."

"Belajarlah! Bukankah Kakakmu sudah sejak 2 minggu lalu bisa terbang? Kamu pasti bisa!” Tupi menyemangati Pitki.

"Kemarin, aku sudah mencoba, bahkan aku hampir jatuh."

"Apa kau ingin sendirian di sarang?"

"Aku tidak mau!"

"Kalau begitu, belajar lagi."

"Kalau aku jatuh bagaimana?"

"Kau belum mencoba, kenapa banyak alasan? Jangan takut, aku akan membantumu."

"Bagaimana kau bisa membantuku? Kau kan tidak punya sayap?”

“Tapi, aku bisa melayang menangkapmu Pitki,” Tupi terus saja menyemangati Pitki. Ia tidak mau temannya gagal.

“Baiklah, aku akan mencobanya.”
Pitki berusaha mengepakkan sayapnya.

"Tidak bisa!" teriak Pitki pesimis.

"Ayo! Coba sekali lagi!"

Pitki berusaha sekali lagi. "Sayapku sakit!"

"Jangan menyerah! Kau harus kuat, angin musim huja  nanti akan lebih kuat. Kalau kau malas belajar terbang, suatu saat sarangmu akan tertiup angin kencang dan kau akan jatuh bersamanya. Lalu ranting akan menimpa badanmu. Apa kau ingin seperti itu?" Tupi berusaha menyemangati, dengan memberikan gambaran buruk, yang akan dihadapi Pitki bila ia malas belajar terbang.

"Tidak!” Pitki menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “baiklah aku akan mencoba lagi."

Pitki terus berusaha, dia tidak ingin ditinggal sendiri terus. Dia juga tidak mau mati konyol saat musim hujan nanti.

"Ahai! Teruslah Pitki, yeee ...!" Tupi teriak kegirangan sambil melompat dan terus mengibaskan ekornya, demi dilihatnya Pitki sudah melayang di atas sarangnya.

"Pitki, kau pasti bisa! Ayo condongkan badanmu, arahkan kemana saja kau mau ...!" teriak Tupi menyemangati anak Pitki.

"Bagaimana kalau aku jatuh?"

"Aku akan menangkapmu Anakku.” Ibu Pitki berseru dari atas, sambil terus mengangkasa mengitari sarangnya.

"Ibu, kau sudah datang. Lihatlah Ibu ...." Paruh Pitki terbuka lebar. Ia gembira melihat kedatangan ibunya.

"Ayo Adik, aku akan mendampingimu." Ternyata, kakaknya juga sudah datang.

Tak lama kemudian ....

"Tupiii ..., aku sudah bisa terbang." Pitki teriak dari atas pohon. Ia senang sudah bisa terbang.

Pitki pun mengangkasa bersama keluarganya, mengelilingi pohon tempatnya bersarang. Kini, ia tidak perlu cemas lagi akan tertinggal sendiri di sarang. 

"Terima kasih Tupi ...!" teriak Pitki lagi.

Tupi tersenyum bahagia melihat temannya sudah bisa terbang, “teruslah terbang Pitki, semangat ya!” 

Tupi pun, segera melompat ke pohon lain, untuk berkumpul bersama ibunya.

Senin, 01 Juli 2019

Dear Juli

By: Nia Kurniawati

Aku telah ihklas meninggalkan Juni, dengan segala manis dan pahitnya. Semoga engkau sudi menerima diri yang berjelaga ini, agar mampu menyongsong Agustus dengan sukacita.

Bersamamu akan kubasuh debu, hingga mengabu lalu sirna. Dengan segala upaya kucoba istiqomah dalam senyum nan bahagia. Sedikit demi sedikit akan kurobek topeng, agar wajah dan hatiku mantap bermunajat pada-Nya.

Juli, saksikanlah si pandir ini terus berbenah. Memantaskan diri untuk pertemuan yang rahasia, namun pasti.

Bekasi, 1 Juli 2019

Jumat, 28 Juni 2019

Cara Membuat Ketupat, No Ribet dan Hemat Gas


Hai, hai!
Emakers yang dirahmati Allah, maafkeun, ya. Pasca sukses mencoba resep 5.30.7 membuat Ketupat , lebaran lalu, aku lupa berbagi tips dan triknya, padahal sudah janji. Heuheuu ....

Tapi, nggak ada yang nanya or nungguin, sih. Nggak papa lah, ngayal dikit kalo blognya itu udah banyak viewersnya dan sedang dinanti tayangnya. Nggak dosa, kan? Hehehe ....

Kemon, lanjut.

Jadi gini, aku tuh kan tipe cewek yang sedikit pemalas, sedikit lho, meski sudah menikah. Nah untuk urusan masak-memasak lebih sering beli. Coz, harga beli lauk matang jika dibandingkan dengan bahan mentahnya, ternyata lebih murah lauk yang sudah matang.

So, sebagai istri bersuami penghasilan pas-pasan; pas mau sedekah ada, pas mau beli bakso ada, pas mau beli buku ada, pas mau ikut kelas online ada, pas mau apa aja pokoknya ada. Aku lebih milih beli lauk matang. Apalagi kalo untuk masak yang kayaknya ribet banget, semacam ketupat dan kembarannya, rendang beserta kawan-kawannya, aku selalu menghindar.

Nah! Setelah baca postingan kakak di grup WaG keluarga tentang metode 5.30.7, aku yang punya jiwa kreatif; ssttt ... dilarang bully, penasaran pengen coba. Dan ternyata, alhamdulillah berhasil. Langsung deh pamer. Semua grup aku kirimin foto keberhasilan. Hahaha ....

Udah, ah! Yuuk langsung intip tips n trik bikin ketupat dengan metode 5.30.7.

1. Siapkan bungkus ketupat. Aku cuma nyiapin 10 bungkus, karena masih coba-coba. Cuci, lalu tiriskan.
2. Siapkan beras. Aku pake beras merah yang sudah dicampur beras putih yang biasa buat masak, satu cangkir gelas plastik. Cuci bersih, lalu tiriskan.
3. Isikan beras ke dalam selongsong ketupat, sampai setengah bagian.
4. Masukkan dalam panci, isi air sampai menutupi seluruh ketupat. Tutup.
5. Nyalakan kompor.
6. Setelah mendidih, tunggu 5 menit lalu matikan kompor.
7. Diamkan selama 30 menit, dalam keadaan panci tertutup. FYI, meski kompor dalam posisi off, tapi proses pematangam tetap terjadi.
8. Setelah 30 menit, nyalakan kembali kompor selama 7 menit.
9. Matikan kompor dan taraaa ..., ketupat sudah matang, kenyal, dan padat.
10. Tiriskan dengan cara digantung supaya tidak mudah basi. Jika sudah dingin, bisa masukkan kulkas. Tinggal dihangatkan sesaat akan dikonsumsi.

Alhamdulillah, cara ini sukses. No ribet! Dijamin hemat pemakaian gas.

Tahukah, Emak. Selama memasak, saya sampai bikin alarm di hp, supaya tidak terlewat. Wkwkwkwk ....

Metode 5.30.7 ini juga katanya bisa diaplikasikan untuk memasak bahan lainnya yang terkenal lama prosesnya, seperti; burjo, daging, ayam, lontong (kembarannya ketupat),  etc.

Oh, iya. Sebagai informasi tambahan. Saya menggunakan panci biasa, karena belum punya presto. Buat Emak yang udah punya panci presto kayaknya metode ini nggak perlu dipake. Karena presto berdaya tekanan uap tinggi, yang mampu membuat masakan lebih cepat matang dan empuk.

Selamat mencoba, ya, Mak. Semoga sukses, dan jangan lupa sharing balik yaaa... pengalamannya.

Bekasi, 28 Juni 2019

Senin, 24 Juni 2019

Bintang Kecil


Mereka adalah bintang-bintang kecilku. Kebanggaanku. Yang dengan menatapnya, membangkitkan gelora asa. Lantas segera melangitkan harap, semoga aku diberi serupa dengan mereka.

Mereka istemewa, memiliki tahta tersendiri dalam sanubariku.


                   

Ada Ananda Djasmine, yang paling semangat, banyak, bagus, dan kuat hapalannya. Semoga kelak bisa menghadiahkan mahkota cahaya pada Mama dan papa.

Putri cantikku, Tiara, hadir berjiwa dewasa dalam sosok mungilnya. Lisan yang selalu memuji dan menyenangkan hati, jemari yang terkadang memijit pundak tanpa diminta, membuat aku bangga memilikinya meski hanya satu tahun.

                  

Putri manis berbulu mata lentik, Farah. Tatapan, ucapan, lakunya lembut. Membuat siapa pun yang memandang, ingin mendekap, menatap matanya, dan jatuh cinta.

Adalah Awa, putri manjaku. Dengan kemanjaannya telah membuatku merasa menjadi seorang ibu sejati. Ketekunannya belajar, telah menghantarkannya pada metamorfosis yang indah.

Nadia, putri mungil berlesung pipit, yang selalu ceria dan tersenyum setiap kali bersitatap. Penyabar dan ramah pada semua teman, membuatnya jadi rebutan. Memandangnya membuatku ingin memiliki dan membawanya pulang.

Vika, putri terlamaku. Kemandiriannya membuatku berkali-kali mengacungkan jempol. Kemampuannya menghadapi masalah dengan teman, membuatku tenang dan bangga.

Keke, menatap putri cantik yang satu ini, selalu mampu meredam emosi yang sering bergejolak saat hati tak siap menghadapi keaktifan anak yang lain. Bukan pendiam, karena terlihat sering membimbing dan menasehati teman yang lain, tapi menjaga cakap agar tak lepas sembarangan.

Satu lagi putri tomboyku, Muthia. Kehalusan pekerti, kesantunan, dan kemandiriannya membuaku bangga. Tingkah aktifnya yang lebih senang bergaul dengan teman pria, membuat aku seperti memandang cermin, Nia kecil. Dan lengkung pelangi terbalik pasti tercipta di bibir kami berdua, saat mengingatkannya untuk lebih memilih teman perempuan.

Pria kecilku, Adit, membuat perpisahan terasa sulit dan berharap tidak terjadi. Pelukan serta ucapannya yang tak mau berpisah, berhasil mencipta haru di relung kalbu.

Naufal, putra bongsor berlesung pipitku ini, selalu membuatku tersenyum. Tingkah riang dan kepandaiannya merayu agar terhindar dari peringatan, selalu berhasil menyadarkan keegoisanku untuk selalu membumi dan menundukkan amarah.

Putra kecilku, Majid. Pembawaannya yang tenang, kalem, cool, rasa-rasanya akan mudah membuat para gadis jatuh cinta kelak. Kreatifitasnya dalam mencoba warna dan bermain simbolik membuatku tersadar, dunia ini memang indah. Apa pun yang terjadi, tersenyumlah, seperti Majid, yang bisa membuat semua hal menjadi menyenangkan.

                 

Ada juga sosok pria kecil layaknya detektif Conan, tokoh kartun favoritku, Zahran. Dia akan terus mengejarku jika jawaban yang diberikan belum memuaskannya. Pelukan dan ciuman kecilnya selalu melengkapi rasa memiliki anak. Haru sering kali mampir dan membuat netraku mendung, tiap kali dia bergelayut manja dan minta dipangku.

Putraku yang lain adalah, Yudhis. Pendiam, tak banyak cakap, namun sering mencuri pandang. Dan lengkung pelangi terbalik pasti tercipta di wajahnya, saat bersitatap, hingga membuatku salah tingkah. Apa yang aneh dengan diriku hari ini? Repleks, memeriksa keadaan diri. Membuatku GR, dan merasa sangat diperhatikan. Senyum tulusnya, membuatku selalu merinduinya setiap hari.

Barra, pria kecil keturunan Aceh ini sering membantu menjaga kelas, saat aku ada keperluan meninggalkan kelas sesaat. Membuatku tenang, dan senang mengandalkannya.

Putraku yang lain adalah Bryan. Sosoknya yang aktif dan periang, mampu membuat suasana kelas menjadi hangat. Kecekatannya dalam menjawab pertanyaan, membuat semua kepala temannya menoleh dan bertepuk tangan.

Satu tahun membersamainya, seakan sangat singkat. Rasanya baru kemarin, saat di antara mereka ada yang masih harus kudekap dan gendong, karena harus berpisah sesaat dengan Mama. Kini, rasanya aku yang harus dipeluk untuk menghilangkan resah karena harus berpisah dengan mereka.

Rasanya baru kemarin, aku menghapus rinai yang membanjir di pipi mungil mereka, ketika pintu kelas mulai ditutup, dan punggung Mama tak nampak lagi. Kini, rasanya aku yang butuh usapan jemari-jemari mungil itu untuk menghapus haru yang bergelanyut saat harus melepas mereka ke samudera kehidupan.

Rinai berkumpul di pelopak mata, bulirnya turun perlahan, saat kenyataan itu hadir di depan mata.

Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Meski hati tak menghendakinya, tapi demi kebaikan bintang-bintang kecilku, kuikhlaskan untuk tidak memeluk mereka lagi.

Beberapa saat lagi, mereka akan melesat , menggapai cita dan asanya. Aku, cukup puas mengantarkan mereka di gerbang awal ini, Raudhatul Athfal.

Selamat mengangkasa bintang-bintang kecilku, doa ibu bersama kalian.

Bekasi, 25 Juni 2019.

Selasa, 11 Juni 2019

Buat Kamu yang Sedang Putus Cinta, Ikhlaskan atau Kamu Kena TBC


Membahas cinta sejoli memang tak 'kan pernah selesai. Tak cukup satu buku mengisahkan berbagai romantikanya. Dari mulai zaman Adam dan Hawa, hingga kini SBY dan Ani. Terus terkisahkan tiada henti, selama manusia masih menempati bumi.

Ada kisah yang berakhir tragedi seperti Romeo dan Juliet, ada pula yang bertabur bunga dari awal hingga terpisahkan maut seperti Ainun dan Habibie.

Ada yang ditinggal karena pengkhianatan, terpisah karena adat, tak dapat bersatu karena agama, tak dapat bersanding karena maut, dan kisah kelam lainnya.

Jika saat ini, Sobat sedang berada dalam kisah kelam --putus cinta, jangan bermuram durja.

Kalo terus meratapi, yang ada bukannya bahagia, tapi TBC (Tekanan Batin karena Cinta). Nah, bahaya 'kan!

Sebelum kena TBC akut, yuuk kita cegah, dengan mencari hikmah atas putusnya cinta.

Hikmah Putus Cinta

1. Memperingatkan kita bahwa pacaran itu salah

Dalam Surah Al Isra (17) ayat ke 32, Allah berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَاحِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."

Kenapa pacaran dikatakan mendekati Zina?

Kalo pacaran pasti  kamu pengennya ketemuan terus, 'kan? Nggak ketemu maunya teleponan terus. Kalo udah ketemu, deket-deketan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, cium-ciuman, peluk- ..., stop! Hehehe... nanti kebablasan.

Nah! Aktivitas seperti itu yang dikatakan mendekati zina.

Tapi 'kan, aku pacarannya islami lho, nggak pake deket-deketan apalagi pegang-pegangan.

Ada yang begitu?

Heemmm... pacaran islami itu cuma ada setelah diikat akad, jadi mo ngapa-ngapain aja bebas dan berpahala. Asal nggak ngelakuinnya di depan publik aja.

Terus?

Kalo mau menikah, dan sudah benar-benar siap, ya, ta'aruf (kenalan) aja, jangan pacaran. Ingat, ta'aruf itu beda lho, sama pacaran.

So? Enough!

2. Doi bukan jodoh kita

Ini yang harus kita yakini, Allah nggak akan mengambil sesuatu yang baik kecuali diganti oleh yang lebih baik.

Percaya deh, kalo jodoh mah sejauh apa pun pasti akan mendekat. Kalo bukan jodoh, meski pun dekat, ya, pasti akan menjauh.

Coba renungkan ini:

“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.” (Imam Syafi’i)

3. Mengajarkan kita untuk  bersabar.

Nggak akan mungkin dibilang sabar kalo belum pernah diuji. Anggap ini ujian, ikhlasin aja. Kalo Allah mau ngasih rezeki pasti komplit sama pembungkusnya. Ibarat permen, kita cuma mau nerima permen yang masih utuh dalam kemasannya, 'kan? Karena lebih yakin akan kebersihan dan kualitasnya.

Jodoh itu rezeki, jadi, terima putus cinta ini sebagai ujian/bungkus permen, dibalik itu pasti ada permen manis untuk kita.

Allah SWT berfirman:

فَاِ نَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۙ 
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,"
اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۗ 
"sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(Al Insyirah ayat 5 dan 6)

Ini juga harus jadi pegangan:

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik .” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

See! Janji Allah itu pasti, tugas kita cuma yakin.

Nah, kalo sobat udah paham hikmahnya, cuslah move on.

Langkah-langkah Move On

1. Perbaiki sholatnya

Minta pertolongan dengan sabar dan sholat. Kalo udah bisa bersabar, kencengin dah tuh sholatnya. Geber pake rawatib, dhuha, dan tahujudnya jangan ketinggalan.

Allah SWT berfirman:

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 153)

2. Akrabkan diri dengan Al Qur'an

Al Qur'an bisa menjadi obat, sakit fisik maupun hati. Perbaiki bacaannya, banyakin tilawahnya, tingkatin hafalannya, dan amalin.

3. Perbanyak dzikrulloh

Kalo lagi putus cinta, banyak yang suka pada sering melamun, mikiran mantan, mikiran pilihannya mantan, mikiran kenapa begini, kenapa begitu, dan lain-lain. Ini bahaya! Bisa ngerusak hati dan yang paling serem, kerasukan. Bukan nakutin, cuma ngingetin aja.

Daripada, daripada, mendingan perbanyak mengingat Allah aja. Dijamin bikin tentrem dan sehat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du (13): 28).

4. Hadirilah majelis taklim

Ini nggak boleh dilupakan. Saat kita sedang terluka, jangan menyendiri. Cari tangan yang bisa menggenggam kita keluar dari jurang nestapa.

Agar move onnya terjaga, perlu membersamai orang-orang sholeh yang bisa menasihati saat kita sedang terpuruk. Dengan hadir di majelis taklim, menimba ilmu, dan berkumpul dengan orang sholeh, insyaAllah akan membuat kita semakin kuat.

Oke? Alhamdulillah. Selamat bebenah hati.

Bekasi, 11 Juni 2019.

------ 💘@@@@@@@💘 ------

Yakin Udah Move On?
By Nia Kurniawati

Katanya sudah melupakan, tapi selalu berkata dan menulis tentang dia.

Katanya sudah move on, tapi selalu peduli apakah dia acuh atau tidak.

Katanya ingin bangkit, tapi selalu  meratapi.

Memang susah urusannya kalo patah hati, apalagi soal pengkhianatan. Kita masih sayang, tapi tak sudi berbagi. Lalu, membiarkannya pergi membawa separuh hati. Kita meradang, mereka bahagia.

Setiap hari menanya kabar, bukan padanya, tapi dinding sosmed. Apa guna?

Saban menit mengoceh, seolah diri paling menderita.

Saban jam berkoar, seolah dia paling durjana.

Bila seperti itu, kapan luka akan sembuh? Ocehan dan koaran ibarat garam yang ditabur pada luka, bukan sembuh tapi malah semakin perih.

Lalu, bagaimana? Melupakan jelas tak mungkin apalagi jika dia adalah cinta pertama.

Peluk luka itu, balut dengan doa semoga dia bahagia dan kau pun bahagia. Taburi dengan syukur, perpisahan terjadi sebelum ijab mengikat diri. Lantas berkemas, memantaskan diri untuk pengganti yang pasti lebih baik. Hiasi dengan amal sholeh terbaik.

Tak mudah memang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Jangan hiraukan lagi apakah dia masih memedulikan kita atau tidak. Apakah dia terus menyelidik atau tidak. Apakah dia bahagia atau tidak. Apakah dia ... stop!

Lekas, lekaslah berkemas!

Bekasi, 11 Juni 2019










Rabu, 05 Juni 2019

Pengalaman Pertama

Hai, Gengs, apa kabar?
Semoga selalu dalam naungan Allah. Diberi kesehatan jiwa dan raga, keberkahan dan keta'atan beribadah pada-Nya.

Masih suasana lebaran, aku ucapin Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1440 Hijriyah, Taqobbalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiya minkum, Kullu 'aam wa antum bi khoir. Mohon maaf lahir dan batin, ya, Gengs. Mungkin ada kata-kata dari postingan aku yang menyinggung perasaan.

Ramadhan baru aja berlalu, Gengs. Ada rasa pilu, sesak, khouf, dan roja' menyelimuti kalbu. Akankah, kita dipertemukan dengan Ramadhan yang akan datang?

Di antara pilu, terselip bahagia. Karena bertemu orang terkasih, saudara, dan teman yang lama tak bersua. Iedul Fitri, memang selalu seperti itu. Sedih ditinggal Ramadhan, sekaligus bahagia meyambut jiwa yang kembali fitri, insyaAllah.

Nah, pada lebaran kali ini, ada kebahagian tersendiri buat aku, Gengs. Yaitu, bisa bikin ketupat sendiri.

Norak? Biarin aja. Namanya pengalaman pertama. Yang pertama memang selalu bikin excited n happy. Hehehe...

Jadi gini, Gengs. Aku tuh kan, termasuk jenis orang yang sedikit pemalas. Sedikit, lho, ya, ga banyak. Nah, untuk urusan makan, seringnya aku cuma bisa jadi penikmat. Kecuali untuk makanan; nasi putih, tempe goreng, tahu goreng, telur ceplok, dan telur dadar. Ke-5 makanan tersebut aku udah bisa ngolahnya. Jangan diketawain, lho! Ya, diketawain juga. Tapi, oke lah, ga papa, masih lebaran, aku maafin. Wkwkwkwk ....

Sajian lebaran, seperti ketupat dan opor ayam, hampir bisa dipastikan selama 41 tahun, aku cuma bisa jadi penikmat aja. Nah! Tahun ini, beda, Gengs. Aku bisa buat ketupat dan opor-oporan ayam sendiri (namanya opor-oporan, karena lupa ga beli santennya. Mau balik, males. Jarak pasarnya lumayan dari rumah. Warung deket rumah dah pada mudik orangnya).

Ketupatku itu istimewa, Gengs. Ini alasannya:

1. Buatan sendiri
2. Kreasi perdana
3. Masaknya cepat
4. Campuran beras merah, beda dengan ketupat lainnya
5. Enak. Meski kata ponakan "kupate atos koyo watu". Tetep istimewa. Salah sendiri, makan ketupat yang udah masuk kulkas tanpa diangetin dulu.

Sebelumnya, aku ga pernah mau nyoba bikin ketupat sendiri karena alasannya banyak.

1. Lama
2. Boros gas, karena ga punya tungku dapur kayu
3. Takut gosong, karena harus sering ngecek keadaan air rebusan

Ternyata, alasan itu semua terbantahkan setelah aku membaca postingan kakak di WA grup family tentang sistem masak 5.30.7. Untuk lebih meyakinkan, aku cek google. Ternyata udah banyak testimoni keberhasilannya. Hasil jelajah google itu, membuat aku memutuskan beli solongsong ketupat pada hari Senin, 3 Juni 2019. Aku ga berani beli banyak, cuma 10 buah aja. Juga beli satu ekor ayam, satu papan tempe, dan bumbu dapur.

Fyi, aku lebih suka tempe daripada ayam. Makanya, opornya aku campur tempe.

Apa Itu Cara Masak Dengan Metode 5-30-7?

Seperti yang dilansir oleh doyanresep.com, 5.30.7 itu merupakan metode memasak dengan 5 menit perebusan, diamkan perebusan selama 30 menit dengan posisi kompor dalam keadaan mati dan panci tertutup rapat, kemudian rebus kembali selama 7 menit. 5 menit pertama dihitung setelah air mendidih ya, Gengs.

Karena ini pertama kalinya aku coba masak, aku ga mau dong gagal. Meski dalam tahap belajar gagal itu sebuah keharusan. Tapi, selama bisa diminimalisir, kenapa ga? Jadilah, aku melakukan uji coba dulu.

Berhubung selongsong ketupatnya terbatas, dan aku malas balik lagi ke pasar, aku coba buat dengan menggunakan plastik yang ada di rumah, plastik es mambo. Jangan ditiru ya, Gengs. Kurang baik untuk kesehatan.

Aku buat lontong beras merah, dengan menggunakan plastik. Ga banyak, cuma lima buah aja. Plastik, aku isikan beras merah campuran yang sebelumnya sudah dicuci. Isinya dua per tiga dari panjang plastik. Aku masak dengan metode 5.30.7. Dan ... alhamdulillah berhasil.
DokPri

Semakin kuatlah, keyakinanku untuk eksekusi ketupat. Dan ... alhamdulillah berhasil.
DokPri

Opor-oporan ayam juga aku masak dengan metode yang sama, hasilnya? Alhamdulillah berhasil. Dagingnya empuk, tapi keasinan. Awas! Jangan diketawain.
DokPri
DokPri

Alhamdulillah.

Next, aku mau coba bikin bubur kacang ijo. Ayo, Gengs coba juga yaaa ...! Untuk resep cara bikin ketupat beras merah ala-ala Nia, lebih lengkapnya tunggu di postingan berikutnya. 😉

Selamat mencoba!

Bekasi, 6 Juni 2019

Sabtu, 01 Juni 2019

Paradox of Candy

Gambar permen dokumen pribadi

Suatu hari, saya sedang dalam keresahan yang sangat. Seorang teman yang sering saya jadikan panutan dan guru dalam dunia tulis menulis, tiba-tiba mengirim chat, "Kak, mau baca buku non fiksi, ga? Bukunya bagus banget lho!". Dia juga mengirimkan e-book yang berjudul Rahasia Magnet Rezeki karya Ust. Nasrullah.

Dalam hati saya berpikir, "MaasyaAllah, kok bisa ya?" Ternyata benar. Allah akan mengirimkan, mendekatkan orang-orang yang satu frekuensi dengan kita.

Padahal, teman saya itu tidak tahu kalau saya sedang galau. Saya tak pernah sekali pun curhat tentang masalah kehidupan padanya. Tapi seperti ada pemantiknya, langsung terhubung.

Pada saat dia mengirim chat dan e-book itu, saya sedang membaca buku fisiknya Rahasia Magnet Rezeki yang sudah saya beli tahun lalu, dan baru berkeinginan membacanya sekarang.

Meski demikian, saya tetap takjub dan terheran-heran, apakah ini yang namanya keajaiban seperti yang Ustadz Nasrulloh paparkan dalam buku ini? Dan saya langsung mengiyakan pertanyaan dalam hati itu.

Dua insan, berbeda pulau, yang tak pernah chat masalah kehidupan, sama-sama terhubung dengan satu buku Rahasia Magnet Rezeki.

Saya tidak tahu, karena tidak menanyakan, apa alasan dia mengirim e-book tersebut. Yang jelas ini semakin membuat saya yakin akan keajaiban Allah itu memang ada.

Sungguh, jika bukan Allah yang menggerakkan hatinya, siapa yang bisa? Karena sesungguhnya, Allah pemilik hati para makhluk-Nya.

Ada tulisan yang sangat menarik perhatian saya dalam buku ini, yaitu, Paradox of Candy.

Dalam buku ini, Ustad Nasrulloh menjelaskan, bahwa Allah mengirim rezeki sepaket dengan bungkusnya. Apa bungkusnya? Ialah ujian, masalah, kesulitan sesuatu yang tidak kita sukai. Jika kita menolak ujian atau  masalah, dengan mengeluh dan merasa itu suatu beban, maka, sama artinya kita menolak rezeki itu sendiri.

Astaghfirullohal 'Adhziim.

Inilah yang sering menjadi keresahan hati. Merasa jauh dari nikmat, banyak doa yang tidak dikabulkan, tapi masalah datang silih berganti. Ternyata, ini yang membuat rezeki itu seolah enggan memghampiri, karena saya memang selalu menolak bungkusnya.

Terima kasih banyak Neng Djo, semoga Allah senantiasa memberkahimu dan keluarga. Aamiiin.

Bekasi, 01 Juni 2019



Rabu, 24 April 2019

Wisata ke Goa Ngerong

Oleh: Nia Kurniawati

Di ruang tamu,  tampak Ibu, dan Ahmad, kakaknya Tiara, sedang menonton televisi. Tiara langsung bergabung, dengan duduk di sebelah ibunya.

"Habis ngapain, dari tadi di kamar terus, Dek?" tanya Ibu.

"Merapikan pakaian dan perlengkapan yang akan aku bawa lusa, Bu." Tiara menyandarkan kepalanya di pundak Ibu, "lusa, kita jadi berangkat ke Bandung, kan, Bu?"

Ibu segera membalikkan badannya menghadap Tiara.

"Astaghfirullah, maaf, Sayang. Ibu lupa memberitahu sesuatu." Tangan kiri Ibu menggenggam jemari Tiara, dan tangan kanannya membelai kepala Tiara.

"Besok, Ayah harus berangkat ke Bojonegoro. Ada masalah di kantor cabang," lanjut Ibu.

Ahmad yang duduk di karpet, depan Ibu pun langsung menoleh.

"Yes!" Ahmad mengepalkan tangannya dan menariknya menyiku dengan semangat.

"Mas Ahmad kok senang, sih?" Tiara memprotes tindakan kakaknya.

"Besok aku mau tanding futsal, final."

"Yaahh! Gagal liburan lagi deh." Tiara menghempaskan punggungnya ke sofa yang sedang ia duduki.

"Maaf ya, Dek. Nanti kita bicarakan lagi sama Ayah." Ibu berusaha menghibur Tiara.

Keesokan harinya.

Setelah berdiskusi, Ayah sepakat membawa keluarga silaturrahim ke Rumah Eyang Umiyati di Rengel, Tuban. Ayah akan tetap meeting ke Bojonegoro, jarak Rengel - Bojonegoro hanya 30-45 menit dengan mobil pribadi. Sementara, Tiara dan Ahmad akan berwisata ke Goa Ngerong yang ada di Rengel bersama Ibu. Ahmad, tidak jadi ikut pertandingan futsal, karena tidak mau ditinggal sendiri.

"Ayo!" Ahmad menggandeng tangan adiknya.

"Males, Mas. Tempatnya nggak bagus." Tiara menuruti perkataan kakaknya dengan langkah lunglai.

Sejak memasuki gerbang, Tiara sudah tidak berminat menjelajah tempat wisata Goa Ngerong. Ia hanya melihat sungai dan goa yang gelap. Di tempat itu, tidak nampak  wahana bermain apa pun.

"Ayo cepat, itu Ibu sudah melambaikan tangannya, agar kita bergegas." Kali ini Ahmad sedikit menarik tangan Tiara.

Tiara menahan langkahnya, hingga ia tampak terseret-seret.

"Ini!" Setelah mendekat, Ibu memberikan biji kapuk pada Tiara dan Ahmad, masing-masing sekantung.

"Ini, buat apa, Bu?" Tiara memandang aneh biji kapuk yang digenggam ibunya.

"Lihat aja. Yuuk!" Ibu tidak lansung menjawab. Beliau malah mengajak Ahmad dan Tiara mendekati bibir sungai.

"Wah, ikannya besar-besar, Bu." Ahmad sangat antusias, melihat ikan beraneka jenis dengan ukuran jumbo, saat duduk di bibir sungai yang telah dipondasi.

Tiara masih mengatupkan kedua bibirnya. Meski takjub, tapi Tiara belum merasa senang.

"Buat ditabur di sini, Bu?" Ahmad mengambil segenggam biji kapuk.

"Iya." Ibu mengangguk sambil menaburkan biji kapuk ke dalam sungai.

"Waaah ...!" Tiara dan Ahmad berucap bersamaan, saat menyaksikan puluhan ikan langsung berebut mengerumuni dan memakan biji kapuk yang disebar. Ada beberapa jenis ikan, ikan nila, mujaer, lele, dan gurami.

"Bu, lihat!" Tiara menunjuk ke hulu sungai. Tampak dua orang anak dan seorang bapak berenang sambil menangkap ikan.

"Boleh turun, Bu?" tanya Ahmad.

"Silakan. Adek juga."

"Asyik!" Tiara mulai tampak antusias, saat diperbolehkan turun ke sungai. Berenang adalah hobinya.

Sungainya dangkal, hanya sepaha Tiara, airnya jernih, sehingga ikan dan bebatuan di dasar sungai terlihat jelas. Beberapa ekor ikan mendekati dan berenang di antara kaki Tiara dan Ahmad. Mereka tertawa menahan geli, saat ada lele yang mendekati kakinya. Tiara bahkan sampai memeluk Ahmad.

"Mas, ada kura-kuranya." Tiara setengah berteriak sambil mengejar kura-kura berwarna putih yang baru saja dilihatnya.

Meski pergerakannya lambat, tapi di dalam air, gerakan Tiara ternyata lebih lambat. Kura-kura itu berhasil lolos menuju pintu Goa.

Tiara enggan mendekat, karena bising suara dari ribuan kelelawar yang menggantung di mulut Goa, serta aroma yang membuat mual.

"Yeay!" Ahmad teriak kegirangan, saat ia berhasil menangkap ikan.

"Kita bawa pulang, Mas." Tiara ikut sumringah.

"Tidak boleh, lepaskan kembali, Mas Ahmad," perintah ibu.

"Kenapa, Bu?" tanya Tiara dan Ahmad bersamaan.

"Nanti kamu bisa sakit, bahkan mati, Dek." Seorang bapak yang mendengar percakapan Ahmad, langsung berkomentar. "Udah banyak korbannya," lanjutnya lagi.

"Terima kasih, Pak." Ibu menangkupkan ke dua tangannya di dada.

Bapak yang mengenakan kaos merah dan celana pendek itu, segera berlalu bersama kedua anaknya, sambil menganggukkan kepala.

Ibu menyuruh anak-anak untuk lekas naik dan berganti baju.

Setelah berganti baju, sambil memakan bekal di depan replika ikan nila yang ada dekat gerbang, Ibu melanjutkan pembicaraan yang belum tuntas di sungai tadi.

Ibu bertanya pada Ahmad terlebih dahulu, "Menurut kamu apa yang terjadi jika semua pengunjung mengambil ikan dan kura-kura yang ada di sini, Mas?"

Ahmad mengerutkan kening dan menempelkan telunjuknya di ujung bibir, lalu menjawab, "Lama-lama koleksi ikan dan kura-kuranya akan habis, Bu."

"Benar!" Ibu mengacungkan jempol kanannya ke arah Ahmad.

"Adek, bagaimana menurut kamu?" Kini giliran Tiara yang ditanya Ibu

"Takut sakit, nanti mati lagi, Bu. Seperti yang Bapak tadi bilang."

Ibu dan Ahmad tertawa kecil bersamaan mendengar jawaban Tiara.

"Bu, itu kan cuma mitos ya, Bu?" tanya Ahmad.

"Terlepas itu mitos atau bukan, tapi kita harus menghargai kebudayaan dan adat setempat," jawab Ibu.

"Setuju!" Tiara dan Ahmad bersamaan mengacungkan jempol kanannya ke arah Ibu.

Mereka pun tertawa bersama.

--The End--

Naskah ini telah dibedah oleh Kak Bambang Irwanto di Kurcaci Pos.

Sabtu, 26 Januari 2019

Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab



"Bu Nia, tanda-tanda orang mau pergi bagaimana, sih?"

Sebuah chat WA dari seorang teman membuat hati ini berdesir aneh, gemuruhnya membuat lidah kelu, dan jempol kaku. Sesaat aku bergeming.

"Bu Ika, mau pergi ke mana memangnya?"

Pertanyaannya kubalas dengan pertanyaan candaan, meski aku tahu ke arah mana persoalan itu menuju.

Dwi Rasika Sari, atau yang biasa kupanggil Bu Ika, adalah rekan mengajar di bimbel yang kuselenggarakan sore hari di rumah, sahabat sekaligus teman berdebat. Dengannya aku bisa beradu argumen tanpa  sentimen. Marah tanpa berpura-pura, tapi tak berbekas. Sejak pertengahan tahun 2017, beliau resign karena menderita pengeroposan pada bantalan tulang punggung yang membuat ia tak leluasa bergerak. Pada awal tahun 2018 menjalani operasi penyambungan ruas tulang belakang. Sejak saat itu kondisinya terus menurun, bahkan harus terus berbaring.

"Soalnya B.A.B.ku coklat banget dan sangat lengket. Kata orang tua zaman dulu, itu tanda-tanda orang mau pergi."

Mataku memanas, jantung berdegub tak berirama, dan lelehan hangat akhirnya mengalir di pipi. Dia tetap menjawab dengan serius, tidak menanggapi candaanku.

"Bu Ika, rezeki, hidup, dan mati itu urusan Allah. Ada orang yang divonis dokter hanya menunggu waktu saja, nyatanya bisa panjang umur. Ada yang sehat-sehat saja ternyata hidupnya hanya sebentar. Semangat Bu Ika!"

Balasan penuh pencitraan untuk memotivasi ku kirimkan. Padahal jempol ini bergetar saat mengetiknya. Entah mengapa perasaanku menghianati otak. Aku merasa ketakutan saat membaca chat Bu Ika, tapi logikaku melarang mempercayai firasat itu. Aku tak boleh mendahului takdir, semua Allah yang putuskan.

"Iya, Bu Nia. Aku selalu semangat, sudah kangen sama anak-anak."

"Nah, begitu Bu Ika. Siip! Aku juga kangen pengen ngajar bareng lagi. Mmuaach." (Emot kiss)

Ku akhiri chat itu dengan rasa yang entah. Untuk meminimalisir keadaan, hp segera ku letakkan di meja.

Selang beberapa hari setelah itu, tepatnya tanggal 27 April 2018, sinyal indosat di perumahan tempat tinggalku tenggelam. Hingga membuat aktifitas komunikasi tersendat. Sinyal, baru didapat saat berada di luar lingkungan perumahan.

Ternyata, Bu Ika sering menelepon WAku. Notifikasi itu kudapat saat sedang berada di TK, tempat aku mengajar berjarak 9 km dari rumah. Karena sibuk, ketika di TK tidak leluasa untuk menelepon, ataupun membalas pesan, maka aku memilih mengabaikan notif dari Bu Ika. Toh, nanti aku bisa ke rumahnya, bicara langsung.

Seminggu sebelum Ramadhan tiba, Bu Ika kembali mengirim chat.

"Bu Nia, aku boleh puasa, ga? Luka operasiku masih terbuka."

"Bu, kalo tarawih di rumah, boleh ga?"

Lagi-lagi, WA itu baru terbaca saat siang hari di TK, waktu menjelang pulang ke rumah.

"Ah, nanti sajalah ngomong langsung di rumah biar enak dan jelas," batinku. Mengurungkan niat membalas pesan, karena sudah waktunya pulang.

Ternyata, sampai di rumah raga langsung menyerah pada kasur, minta dicarge untuk persiapan les sore. Sampai beberapa hari kemudian, niatku belum tertunaikan juga. Hingga pada hari terakhir di bulan Sya'ban.

Sore itu, kupaksakan silaturrahim ke rumah Bu Ika meski kepala terasa pusing. Khawatir tak ada lagi kesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan Bu Ika seputar Ramadhan, karena besok sudah puasa.

Rumahnya sepi. Kendaraannya, motor ataupun mobil yang biasa terparkir di depan rumah tidak ada. Terpaksa bertanya pada tetangga depan rumahnya, Ibu Uci,  yang sedang mencuci motor

"Lagi pergi kali, Bu."

"Bagaimana keadaannya Bu Ika, Bu?"

"Kemarin sih, saya lihat sudah bisa duduk di teras depan."

"Alhamdulillah. Semoga bisa pulih seperti semula."

"Aamiiin."

Kami mengucapkan aamiiin bersamaan. Meski sedikit lega mendengar Bu Ika sudah bisa duduk di teras, --sebelumnya selalu terbaring selama dua bulan--, masih ada yang mengganjal di hati karena belum bisa bertemu dan menjawab pertanyaannya tempo hari.

Rasa sesal mengiringi langkahku menuju pulang ke rumah. Inilah buah penundaan dan kemalasan.

Malam ini adalah sahur pertama. Berdasarkan kebiasaanku, biasanya aku akan bangun jam 03.00 dini hari, agar bisa makan shur di akhir waktu, sesuai yang disunnahkan Rosul. Tapi, sejak jam 01.00 mata sudah tak ingin terpejam. Pertanyaan Bu Ika terus mengiang di kepala. Kuputuskan mengadukan semua resah pada Pemilik Kehidupan.

Sekitar jam 2 lewat, terdengar pengumuman kematian. Tak jelas namanya, karena angin bertiup lumayan kencang. Tapi hatiku gundah tak terkira, wajah Bu Ika terbayang. Hujanan istighfar deras mengalir dari lisan, air mata menganak sungai. Semoga prasangka ini salah.

Tafakur di ruang tamu, tempat les biasa diselenggarakan, malah membuat aku mampu menangkap siluet Bu Ika yang sedang duduk mengajar, dan memanfaatkan sisa waktu sebelum pulang untuk menulis tugas anak-anak keesokan harinya.

Sosok yang tegas buat anak-anak, namun penuh canda tawa saat membawakan materi. Membuat suasana belajar menjadi kondusif.

Sebelum adzan subuh, notif gawai riuh bersahutan dari hpku dan suami.

Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uuun. Telah meninggal dunia, Dwi Rasika Sari, pukul 02.10 tadi dini hari di RSCM.

Tungkai lemas seketika, membaca pesan di grup RT, netra kembali membuncah, dada serasa dipukul godam puluhan kali. Sesalku tak kan terobati. Jawaban yang telah kupersiapkan takkan pernah tersampaikan.

Semoga khusnul khotimah sahabat.

Allahummaghfirlaha warhamha wa'aafiha wa'fuanha.

Nia Kurniawati
Bekasi, 26 Januari 2019

*barusanggupmenuliskisahini.
#janganmenundapekerjaan

“Jika kamu memasuki waktu sore maka janganlah tunggu waktu pagi, dan jika kamu memasuki waktu pagi janganlah kamu tunggu waktu sore, dan gunakanlah kesehatanmu untuk masa sakitmu, dan kehidupannya untuk kematianmu.” (HR. Bukhari)

Jumat, 18 Januari 2019

Aroma Mistis


Sejak semalam aroma aneh menguar dari setiap sudut pekarangan rumah. Suasananya membuat bulu kuduk marathon bergidik, aromanya memaksa perut  meluahkan isi, dan  bintang menari di seputar kepala.

"Mistis apalagi, ini? Kok aromanya aneh," ujarku dalam hati.

Kejadian ini, mengingatkan aku pada kisah setahun yang lalu. Tahun lalu, kampungku pernah digegerkan dengan aroma kopi luwak. Aromanya bisa diendus seluruh warga. Padahal tidak mungkin semua warga menyeduh kopi luwak bersamaan, 'kan? Aneh! Kejadian tidak masuk akal ini akhirnya melahirkan  rumor, LEAK SEDANG MENCARI TUMBAL.

Kabar burung itu menjadi trending topik. Dibicarakan oleh segenap kalangan --tua-muda, dan setiap waktu --pagi sampai malam. Di setiap sudut, warung sayuran, mushola, sekolah, pun kedai kopi, dan warung bakso.  Membuat bocah menjadi betah di rumah, karena takut menjadi tumbal Leak.

Lama, kabar itu baru terbantahkan oleh sebuah berita di televisi. Pabrik disekitar kampung yang biasa membuang limbah ke sungai, mencampurkan limbahnya dengan esense kopi, untuk menggantikan bau limbah yang biasanya pekat, berbau busuk, dan membuat migrain menari.

"Oohhh ...."

Banyak mulut ber-oh panjang setelahnya. Sekarang, aroma kopi luwak hanya terendus waktu pagi dan malam saja, juga hanya di sekitar rumah. Itu pertanda, Pak Nasir sedang ngopi.

Kampung tempat tinggalku, Jejalen Jaya, memang terkenal akan  mistisnya. Konon, tempat jin buang anak, katanya. Bisa jadi manusia yang buang anak, meniru perilaku jin. Sampai-sampai, sinyal di tempatku juga bernuansa mistis. Karena sering hilang dan datang sendiri.

Selain itu, masih banyaknya bangunanan bekas peninggalan Belanda, meski ada beberapa yang tinggal dindingnya saja, banyak kejadian mistis yang dialami warga sekitar. Dari mencium aroma wangi, busuk, bau gosong, bau kentang rebus, dan melihat penampakkan Noni Belanda, sampai mendengar suara-suara derap langkah seperti orang yang sedang latihan baris berbaris, menambah kuat kesan menyeramkan.

Maka, dengan sejarah mistis seperti itu. Membuatku beropini, bahwa aroma ini pasti ulah makhluk tak kasat mata.

"Maaasss ...," kulaungkan panggilan kesayangan untuk pria yang telah menghalalkan diriku 14 tahun lalu.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah bikin geger?"

"Mas cium aroma ini?" Hidungku bergerak layaknya kucing yang sedang mengendus ikan, kembang-kempis.

"Iya. Kenapa?"

"Kok, bisa sih, kampung kita jadi bau gini? Tadi aku nyapu di luar kebauan, kukira cuma depan rumah doang. Aku ke warung Bu Devi di ujung gang, baunya masih sama. Sepanjang jalan aromanya sama. Pusing aku."

Keluh yang terkisah sepanjang rel kereta api, tak membuat suamiku panik. Ia tetap menggergaji hebel, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya yang talk aktif.

"Iyalah, bau pete. Kan kemarin si Bowo baru datang dari Kebumen, bawa 50 bonggol pete. Tetangga dari ujung sampai ujung lagi kebagian semua. Cuma aku aja yang ga mau, takut kamu nanti ngomel-ngomel. Eh, ternyata tetap ngomel," jawabnya. Ia lalu meninggalkan kegiatannya, dan duduk di tepian tumpukkan hebel lainnya sambil menyesap kopi. "Tahu gitu, aku tetep terima aja kemarin."

"What!"

Gubrak!

€£¥₩☆%♡¤@$&¿¡¡《%₩₩€☆[}_£€+×`₩%€¤%]+}<♡~)&$$!@*-&$^!

Nia Kurniawati

Selasa, 15 Januari 2019

Apakah Melahirkan Normal Lebih Mulia daripada Operasi Caesar


Ilustrasi Operasi Caesar

Salah satu hal yang dianggap kesempurnaan bagi seorang wanita adalah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui anak.

Banyak yang sedih, mengutuk diri, merasa belum sempurna ketika belum juga merasakan denyut jantung lain dalam rahimnya. Meski usia pernikahan sudah lewat beberapa bulan, bahkan bilangan tahun.

Pertanyaan sederhana, perihal jumlah anak, penjadi sebab sembilu menghunjam qalbu. Atau elusan nan lembut  di perut, disertai ucapan satire, "masih rata aja nih, perutnya", seolah godam yang meremukkan harapan hingga berkeping-keping.

Dalam kondisi terpuruk, iman turun, ia bahkan terkadang mempertanyakan soal keadilan dan kebaikan Allah. Membandingkan diri dengan pelaku zina.
Mengapa dengan cara halal, keturunan sulit dan mahal? Tapi dengan zina, seolah dijadikan mudah proses kehadiran janin dalam rahim. Hingga dengan mudahnya pula, pelaku zina banyak yang dipermudah untuk membuang, bahkan membunuh darah dagingnya sendiri.

Na'udzubillahi min dzalik, astaghfirulllahal 'aadzhiiim.

Padahal, kesempurnaan itu hanya milik Allah. Segala sesuatu terjadi dan tidak, adalah atas izin-Nya.

Masalah cara melahirkan pun banyak diperdebatkan. Ada beberapa segelintir wanita, yang merasa hebat dan sempurna karena bisa melahirkan secara normal, hingga dengan bangganya ia merendahkan sesama wanita lainnya yang melahirkan melalui operasi caesar.

Mereka yang berpikiran demikian, beranggapan dengan melakukan operasi caesar berarti mau enaknya doang, ga mau ribet, dan ga mau nanggung sakit.

Hallooo ...

Apa iya, caesar itu ga sakit?
Apa benar, ga ribet?

Padahal kalau mereka tahu, sakitnya sama. Bahkan dimulai dari menjalani puasa sebelum tindakan, dibius dengan suntik tulang belakang di mana kita ga boleh bergerak sama sekali dan dipaksa menunduk dengan perut yang besar, 8 jam menahan sakit sayatan pasca operasi, tanpa pereda nyeri, vagina tetap diobok-obok dokter untuk membersihkan cairan. Tak henti sampai di situ, caesar memberi dampak lain sesudahnya. Yaitu masa nifas yang lebih lama 2 - 3 bulan, mudah lelah, tidak bebas mengangkat berat.

Jadi, Moms, please. Bagi Anda yang diberi nikmat melahirkan dengan persalinan normal, stop bullying kepada kami. Bukan maunya sendiri di caesar, tapi karena banyak resiko dan kesulitan, hingga terpaksa menurut pada saran dokter.

Sakit, bertaruh nyawa, kesulitan, dan ketidaknyamanan yang kita derita sama.

Mari bersama saling menguatkan.

Salam
Nia Kurniawati