Jumat, 15 Desember 2023

SIRIH YANG TAK PERNAH CERIA

 SIRIH YANG TAK PERNAH CERIA



Oleh : Nia Kurniawati

Mentari mulai menampakkan diri, menyapa setiap makhluk di bumi, pun tanaman yang ada di pekarangan Pak Budiman. Pak Budiman dan istri senang menanam bunga, hampir semua jenis bunga ada di sana. Mawar, Anggrek, Melati, Kamboja, Asoka. Hanya satu jenis tanaman yang bukan bunga menghuni pekarangan Pak Budiman. Sirih.

Semua bunga tampak segar, cerah dan cantik setelah mendapatkan siraman dari Pak Budiman. Semua menegakkan kelopak juga daunnya. Kecuali, Sirih. Ia tak pernah terlihat ceria sejak bunga-bunga jenis baru berdatangan.

“Anggrek, apa kau tahu kenapa Sirih tak pernah ceria?” tanya Kamboja pada Anggrek.

“Entahlah, coba tanya Mawar. Dia penghuni lama di sini,” jawab Anggrek.

Mawar yang mendengar percakapan dua teman barunya, langsung bicara tanpa diminta. “Aku pun bingung, teman. Dahulu, Sirih sangat ramah, dia tanaman pertama di pekarangan ini. Sampai Melati dan Asoka datang, disusul oleh kalian beberapa minggu kemudian.” Mawar bercerita dengan rasa sedih. Ia menundukkan kelopaknya.

“Bagaimana, kalau kita minta Melati saja yang bertanya. Kan, letaknya paling dekat dengan Sirih.” usul Asoka.

Semua setuju. Melati mendapat tugas penting, untuk membuat Sirih mau mengungkapkan kenapa sikapnya berubah menjadi tidak ceria.

“Selamat siang, Sirih. Ada yang ingin aku tanyakan padamu,” Melati mencoba membuka percakapn.

“Siang. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Kenapa, sikapmu selalu murung?”

“Kalau kau mau tahu jawabannya, lihat saja nanti sore.” Sirih langsung menjawab  dengan ketus.

Melati yang masih kebingungan hanya mampu berdiam diri. Sesekali ia embuskan aroma bunganya yang membuat pekarangan Pak Budiman menjadi harum.

Sinar Matahari mulai tak terasa hangat. Bayangan para tanamanpun sudah memanjang ke arah timur. Itu artinya sudah sore. Saatnya para tanaman memdapatkan siraman dari anak-anak Pak Budiman.

Di keluarga ini seperti ada aturannya. Saat pagi yang menyiram adalah Pak atau Ibu Budiman. Ketika sore, giliran anak-anak Pak Budiman yang menyiram. Celoteh riang dari anak-anak, belaian lembut pada daun dan ciuman takjub pada setiap bunga, membuat acara penyiraman sore hari selalu dinantikan mereka. Kecuali Sirih.

“Kak Dita, lihat! Mawarnya berbunga lagi! Waaaah, indahnyaaa.” puji Rita, anak bungsu Pak Budiman.

“Heem, bunga kambojanya juga sedang mekar, Dek.” Kak Dita, si anak sulung memuji Kamboja.

Tingkah mereka berdualah yang membuat Sirih cemburu, akhirnya selalu terlihat murung.

Saat keran sudah dimatikan dan anak-anak kembali masuk ruangan, Sirih berkata lantang pada Melati. “Kau lihat kan? Bagaimana mereka sangat menyukai kalian? Hanya aku yang tak pernah mereka belai dan cium! Jangankan disentuh, dikagumi pun tak pernah! Aku dianggap tidak ada! Bagaimana aku bisa senang?”

Melati sedih, mendengar perkataan Sirih, “Aku tidak tahu mengapa mereka bersikap demikian. Tapi, aku yakin ada alasan kuat kenapa Pak Budiman menanam mu lebih dahulu dibanding kami para bunga. Jadi, jangan bersedih lagi Sirih. Kesedihanmu, membuat bunga kami terasa kurang indah.”

Sirih hanya terdiam. Ia berpikir, ‘Para bunga telah mengambil hati Pak Budiman.’ Ia masih ingat, betapa semangat dan bahagianya Pak Budiman mendapat bingkisan dirinya dari Mertua Pak Budiman. Beliau berulang kali memuji Sirih dan menempatkannya di bawah jendela. Hingga ia selalu bisa mendengar ucapan bahagia dan terima kasih atas kehadirannya. Tapi, sejak para bunga hadir, membuat pembicaraan Pak Budiman, terutama anak-anaknya beralih pada kebanggaan mereka akan keindahan Mawar, keharuman Melati, kegagahan Asoka, kelembutan Kamboja dan lain-lain. Sirih muak mendengar namanya tak pernah disebut lagi.

Hinga, suatu hari ....

“Huaaaaaaa, Ibuuuuuu, sakiiit ....” tangisan Rita mengagetkan para bunga.

Kak Dita panik. “Maaf ya Dek, aku tadi melepaskan peganganku.”

Ternyata, Rita terjatuh dari sepeda. Ia sedang belajar naik sepeda bersama Kak Dita.

“Tidak apa-apa, Kak. Ibu, tolong petik tiga helai daun sirih dan peras dengan air hangat,” ucap ayah.

Ibu Budiman bergegas memetik daun sirih dan segera menyiapkan air hangat.

Walau penasaran, Rita tak mampu bertanya. Ia hanya menoleh pada sirih yang tak pernah ia sentuh sambil meringis menahan sakit.

“Adek, tahan sebentar ya. Ibu basuh dulu lukanya agar tidak infeksi. Oh iya, Ibu baru ingat. Kemarin Bu Danu minta daun sirih untuk direbus sebagai obat batuknya Ayah Danu.” kata Bu Budiman sambil membasuh luka Rita.

“Jadi, daun sirih itu banyak manfaatnya ya Pak?” tanya Kak Dita.

“Iya, Kak. Makanya Bapak menanam sirih. Dulu, Kakekmu juga sering konsumsi sirih loh.” jelas Pak Budiman pada kedua putrinya yang antusias mendengarkan, lupa dengan sakitnya.

     “Eyang Putri juga sering menggunakan daun sirih untuk mencuci mata,” tambah Bu Budiman.

Seluruh tanaman di pekarangan Pak Budiman bangga mendengarnya.

“Kamu dengar Sirih? Ternyata kamu sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia. Sekarang kamu harus selalu semangat!” Melati memuji Sirih.

“Baik Melati. Terima kasih teman-teman kalian sudah peduli padaku. Aku jadi ingat, dulu Bu Budiman pun menggunakanku untuk merawat dirinya pasca melahirkan. Itulah kenapa aku dikirim ke sini.”

Sejak saat itu, Sirih selalu ceria menyambut Matahari dan menanti siraman dari keluarga Pak Budiman.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar