SURGA YANG DIHINA
Prang!
Suara benda kaca jatuh dan pecah membuat Syakila menyemburkan jus mangga yang sedang diminumnya.
"Dasar, gila! Lihat! Kau membuat bajuku kotor saja," hardik Syakila sambil sibuk membersihkan bajunya.
Wanita itu hanya mampu mematung menatap bergantian antara pecahan piring dan gadis cantik berusia 20 tahun yang memanggilnya gila.
"Ibuuu ...," teriak Syakila.
"Ada apa, Syakila? Gadis kok teriak-teriak." tanya Wanita setengah baya berparas ayu, dengan lembut. Pandangannya tertuju ke arah sumber suara sambil terus menuruni anak tangga. Blezzer dan sepatu hak tinggi yang dipakainya menandakan kalau ia seorang wanita karier.
"Lihat, Bu. Wanita ini bikin ulah lagi." Syakila segera mendekati ibunya dan menunjuk ke arah wanita yang sedari tadi bergeming menatapnya.
"Ga perlu sampai teriak kan, Syakila?! Kenapa kamu tidak membantu Bu Dhe Shinta?! Lihat, dia sampai ketakutan begitu," Livia, nama ibu Syakila, mendekati Bu Dhe Shinta yang sering bertingkah tak wajar dan menampakkan sikap ketakutan.
Dengan lembut, Livia menuntun Bu Dhe Shinta ke meja makan. Menarik salah satu kursi, lalu memintanya untuk duduk dengan lembut. Mengambil piring baru, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. Lalu membuka blezer dan bersiap menyuapi wanita yang selalu disayang dan dihormatinya itu.
Ini adalah adegan menjijikan bagi Syakila. Ia tak pernah suka melihat ibu dan ayahnya memperlakukan wanita sinting itu dengan hormat. Bahkan, sering meminta dirinya untuk melayani gembel miring itu.
"Cih!"
Syakila segera berlalu, menuju ke kamarnya.
15 menit kemudian, Syakila kembali dengan dandanan baru. Ia mencium pipi kanan dan kiri ibunya, "Aku berangkat, Bu."
"Tidak cium tangan Bu Dhe?" Livia berusaha mengingatkan kebiasan yang harus dilakukan Syakila.
Kali ini Syakila tidak menuruti perintah ibunya, ia bergegas tanpa menoleh sedikitpun ke arah wanita yang selalu menarik-narik rambut itu. Dia telah membuat gadis penyuka warna biru itu terlambat.
Livia hanya mampu menghela napas dan berusaha menenangkan Bu Dhe Shinta dengan mengusap-usap punggungnya dan terus membujuk untuk menghabiskan sarapan.
Di hari lainnya.
Di taman belakang rumah, Syakila, ibu dan ayahnya sedang bercengkrama membicarakan pergelaran busana baru rancangan Livia. Ibunya Syakila adalah seorang desainer terkenal di Kota Bekasi.
Syakila selalu duduk di antara ayah dan ibunya. Ia begitu menyayangi mereka. Walaupun orang tuanya pekerja, tapi Syakila tak pernah kekurangan perhatian dan kasih sayangnya. Jangankan dirinya sebagai anak, wanita sinting itu saja selalu mendapat perhatian.
Syakila tak pernah mengerti, kenapa orang tuanya ngotot untuk merawat Bu Dhe Shinta? Padahal, waktu Mbah Putri masih hidup, beliau pernah meminta ayah untuk memulangkan Bu Dhe. Mbah Putri ingin merawatnya. Tapi ayah ataupun ibunya tidak mengizinkan, apalagi sekarang Mbah Putri telah tiada.
Syakila ingin wanita itu pergi dari rumah ini. Ia pernah meminta ayahnya untuk membawa Bu Dhe Shinta ke RSJ saja. Tapi ayah malah memarahinya. Entahlah, satu hal yang selalu dikatakan ayah dan ibu tentang wanita berambut panjang dan acak-acakan adalah ia pernah menolong ayah dalam sebuah kecelakaan mobil.
"Aduh! Dasar sinting!"
Teriakan dan umpatan Syakila memecah kehangatan. Syakila bangkit dan berbalik dari sofa sambil memegangi rambutnya. Dengan pandangan tajam, Syakila telah bersiapemarahi seseorang yang telah membuat kepalanya sakit karwnanrambutnya ditarik paksa. Tapi kemarahan ayah telah mendahuluinya.
"Syakila! Sejak kecil tingkahmu masih belum berubah? Tidak bisa kah kau memanggilnya dengan lembut?! Paling tidak jangan umpat Bu Dhe terus!" seperti biasa, ayah akan langsung membentak gadis berambut panjang itu, saat Syakila bersikap kasar pada Bu Dhe Shinta.
Syakila hanya mampu membenamkan kepalanya ke pelukan ibunya.
"Sabar, Syakila. Anak baik ga pantes bersikap kasar. Bu Dhe Shinta sudah seperti ibumu. Dia sudah banyak membantu kita. Sekarang saatnya kita membalas budi baiknya."
Begitulah, ucapan Livia yang selalu didengar Syakila.
Arif, ayah Syakila, langsung menuntun Bu Dhe Shinta ke kamarnya. Dan Arif akan berada sangat lama di dalam sana.
Ini salah satu sikap ayahnya yang paling dibenci Syakila. Rasanya tidak masuk akal seorang laki-laki masuk kamar perempuan lain walaupun itu adalah kakak dari istrinya, dengan waktu bisa berjam-jam lamanya. Bahkan ibunya tak pernah memperlihatkan sikap keberatan apalagi cemburu.
"Ayah sedang menenangkan Bu Dhe. Butuh waktu lama memang, sebab kekasaranmu bisa menyebabkan Bu Dhe makin parah nantinya."
Itulah jawaban yang selalu diberikan Livia setiap kali Syakila menanyakan sikap tak wajar ayahnya.
Untuk sekian kalinya Bu Dhe Shinta berusaha menyentuh rambut Syakila, bahkan sampai menariknya. Syakila paham, Bu Dhe berusaha mengepang rambutnya. Mungkin waktu ia masih SMP, gadis yang tak pernah mau rambutnya dipotong ini, masih mau rambutnya dikepang dua. Kepangan rambutnya rapi memang. Tapi sejak menginjak SMA dan teman-temannya mengejek gadis desa, sejak saat itu, Syakila selalu menolak apabila Bu Dhe berusaha untuk mengepang rambutnya. Semakin menolak, Bu Dhe semakin memaksa, itulah sebabnya makin hari Syakila makin kesal akhirnya membenci sikap wanita yang kata ayahnya mirip dengan dirinya itu.
"Cih!"
Inilah penyebab keributan hari ini.
.
Tok ... tok ... tok ....
"Masuk, Yah. Tidak dikunci," Syakila sudah tau siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
Ibunya akan mengetuk sambil memanggil namanya. Sedangkan ayahnya hanyak mengetuk saja. Beda lagi dengan Bu Dhe Shinta. Ia akan langsung menerobos masuk. Meski pintu dalam keadaan terkunci, ia akan berusaha mendorong dan menggerak-gerakkan handle pintu.
"Lihat, ayah membawakan sesuatu untukmu."
Tanpa perintah lebih lanjut, Syakila langsung menyambar paperbag yang masih dipegang ayahnya.
"Wah, cantiknyaaa," Syakila mengeluarkan gaun dari paperbag dan memasangkan ke badannya sambil berputar-putar dan sesekali melirik cermin yang menggantung di samping meja belajarnya. "Terima kasih, Yah." Syakila memeluk ayahnya erat sekali.
Ayahnya baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Ia akan selalu berusaha membawakan oleh-oleh yang unik dan cantik, meski Syakila tidak memintanya.
Arif, duduk di kursi belajar Syakila. Memandangnya putrinya yang sudah beranjak dewasa, "Kau, makin mirip saja dengan ibumu. Dulu ayah menikahi ibumu saat ia berusia sama dengan kau saat ini."
"Benarkah? Teman-temanku juga banyak yang bilang, saking miripnya, aku dan ibu kayak adik kakak bukan ibu dan anak. Tapi, mereka juga bilang kalau wajahku juga mirip Bu Dhe Shinta. Terutama Rossi," Syakila memasang wajah cemberut mengingat kata-kata Rossi. Ia tak ingin dihubung-hubungkan dengan wanita sinting itu. Tapi, ia segera tersenyum kembali, "Ayah tak pernah menceritakan tentang sejarah pernikahan Ayah. Ayo ceritakan, Yah," Syakila langsung mengambil posisi jongkok di hadapan pria gagah berkaca mata itu.
Arif beranjak dari kursi dan mengajak Syakila duduk di tepi kasur, "Kamu sudah dewasa, ayah merasa sudah sepantasnya kamu tahu."
Syakila sedikit mengangkat alisnya. Ada yang aneh dengan kalimat ayahnya. Syakila urung menanyakan keanehan tersebut, demi dilihatnya Arif langsung bertutur.
"Ibumu adalah wanita paling cantik di kampus, karena takut direbut orang, walaupun masih sama-sama kuliah, ayah memberanikan diri melamar ibumu. Di luar dugaan, Eyang kakung yang mulai sering sakit-sakitan menyetujuinya. Bahkan meminta pernikahan dilaksanakan segera. Firasat eyang kakung menjadi kenyataan. Dua minggu setelah menikah, eyang berpulang."
Arif berdiri, berjalan ke arah jendela. Memandang ke luar jendela dan menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Seperti sedang membuang beban.
Syakila hanya menatap ayahnya. Ikut merasakan gelisah yang sedang mendera sang ayah.
Arif menarik kursi dan duduk di hadapan putrinya yang masih duduk di tepi ranjang.
"Syukurlah, ayah dan ibu bisa menyelesaikan studi dengan cepat. Ayah mulai serius menangani bisnis properti yang sudah dimulai kecil-kecilan sejak kuliah. Ibumu sebagai akuntan banyak membantu detil pengeluaran dan pemasukan usaha ayah. Ibumu seorang akuntan yang cerdas dan teliti."
Arif kembali berdiri. Ia memunggungi putrinya dan melepas kacamatanya lalu meletakkannya di meja belajar Syakila.
Syakila melihat gerakan tangan ayahnya yang mengusap mata saat melepaskan kaca mata. Syakila dapat melihat butiran bening yang tertahan di mata ayahnya sebelum ia bangkit.
Syakila menangkap beban dan keanehan dalam cerita ayahnya. Lagi-lagi Syakila hanya mampu memendam pertanyaan dalam hatinya.
Arif kembali ke kursi di hadapan Syakila sambil menggulung lengan bajunya. Lalu memegang erat pundak putri, "Kamu sebenarnya anak bungsu kami. Kamu punya seorang kakak laki-laki tampan yang bernama Ali Syakib."
Kali ini, Arif tak dapat menyembunyikan butiran bening itu jatuh, ia mengusapnya di hadapan Syakila.
"Hari itu, kami berempat, ayah, ibu, kakak dan kamu, menjemput adik sepupu ibumu di Stasiun Senen. Adik sepupu ibumu, baru saja memenangkan lomba desain baju di sebuah majalah wanita. Dan akan menandatangani kontrak kerja selama setahun. Sejak kecil ia tinggal berasama keluarga ibu karena sudah yatim piatu. Kebetulan wajah mereka mirip jadi seperti kembar meski terpaut lima tahun usianya. Ibumu lebih tua tapi sama cantiknya."
Lagi-lagi butiran bening itu berhasil mengalir. Kali ini Syakila yang mengusapnya. Rasanya ia mulai paham arah ceritanya, tapi, ia tak hendak menghentikan ayahnya. Ia ingin mendengar cerita lengkapnya. Cerita yang membuat pria gagah nan tegas dan berwibawa ini menjadi melankolis.
"Hari itu, hujan lebat sekali. Perjalanan dari stasiun Senen ke Bekasi seolah menjadi sangat panjang. Petir menyambar saling bersahutan, membuat kamu yang baru berusia dua tahun terkaget-kaget dan akhirnya menangis tanpa henti. Ibu sibuk mendiamkan dirimu di kursi belakang, sementara Kakak Syakib terlelap di samping ibu. Karena ikut hawatir, ayah jadi sering melihat kaca spion untuk memastikan keadaanmu. Melihat itu, adik sepupu ibumu yang duduk di kursi depan meminta ayah menepikan mobil untuk menggantikan menyetir. Ibumu menyetujuinya, supaya ayah bisa ikut menenangkan dirimu. Entah bagaimana, saat Livia sudah di belakang kemudi setir, lalu menutup pintu, Syakib pun membuka pintu belakang dan langsung keluar. Tubuhnya langsung di sambar sepeda motor yang sedang melintas terpental ke tengah jalan lalu terlindas truk dari arah berlawanan dan membuat badannya rata dan isi kepala berserakan. Dari pantulan lampu kendaraan, jalan yang digenangi air hujan itu memantulkan cahaya kemerahan. Merah darah kakakmu.”
Arif tak kuasa menahan tangis, ia menutup wajah dengan kedua tangannya, membungkukkan sedikit tubuhnya dan menempelkan sikunya ke lutut.
Syakila memeluk Arif. Tubuh mereka berdua berguncang menahan isak. Untuk beberapa menit, mereka berdua larut dalam tangis.
"Kejadian itu begitu cepat, ibumu syok hanya mampu mematung di tempat kejadian tanpa tangis maupun suara. Bergeming selama berhari-hari, tak merespon rengekan kamu, tak peduli dengan kondisi sekitar bahkan tak bisa mengurus diri sendiri. Dua tahun seperti itu, Livia yang tinggal serumah dengan kita sejak kejadian itu, dipaksa menikah oleh eyang putri agar bisa mengurus ayah dan kamu dengan lebih telaten dan leluasa.”
"Cukup, Yah. Jangan teruskan. Syakila paham sekarang. Kenapa ibu dan ayah selalu meminta aku untuk hormat dan sayang pada Bu Dhe Shinta." Syakila menutup mulut Arif dengan telapak tangan kanannya. Lalu memeluknya. Tubuh Ayah dan anak itu kembali terguncang hebat.
Rahasia yang terpendam lama kini terbongkar tanpa menyisakan pertanyaan. Hanya sesal yang memenuhi relung hati Syakila dan janji akan memperlakukan Bu Dhe Shinta dengan layak sebagai ibunya.
Setelah agak tenang, Arif meraih tubuh Syakila dan mengecup dahinya.
"Ayah, sebelum keluar, bolehkah aku bertanya satu hal?" tanya Syakila. Tangannya memegang tangan Arif. Mencegahnya keluar kamar.
"Boleh. Apa itu?" Arif kembali duduk di kursi.
"Kenapa sampai sekarang Ibu Livia belum punya anak?"
Sebelum menjawab, Arif kembali menarik napas.
"Sewaktu kejadian, karena refleks, Livia juga langsung membuka pintu mobil kembali dan tidak memperhatikan situasi, sehingga harus merasakan hantaman stang motor pada perutnya. Dan ternyata itu membuat rahimnya terluka dan tumbuh tumor. Penyakitnya ini baru ketahuan tiga bulan sebelum kami menikah. Sebelumnya Livia sering kesakitan di bagian perut. Bahkan saat haid bisa sampai pingsan. Dengan terpaksa rahimnya harus diangkat." Pada embusan napas berikutnya, akhirnya Arif mampu tersenyum dan memencet hidung mancung seperti milik Shinta.
Syakila ikut mengekor keluar kamar. Tujuannya adalah kamar Ibu Shinta. Ia ingin memeluknya dan membiarkan wanita yang sering dihinanya itu mengepang rambutnya.
“Ibu, maafkan Syakila.”
Bekasi, 20 Agustus 2018
Masa Allah..cerita yg sangat inspiratif
BalasHapusTerima kasih, Mama Rafif
Hapus