Kamis, 25 Mei 2023

Matahari yang tak Pernah Berhenti Berotasi

 




Siang itu, di dalam mushola sebuah ruko kawasan Pasar Induk Cibitung Bekasi, seorang gadis bermata juling baru selesai melaksanakan sholat dzuhur. Di barisan depan tampak pula seorang pemuda sedang melaksanakan rokaat terakhirnya.

Di luar, hujan masih setia menyapa lingkungan yang tak pernah sepi, walau hujan sekalipun. Rinainya yang deras dan tajam menusuk kulit wajah, tak menyurutkan langkah para tukang kuli panggul. Mereka bahkan berebutan menaiki truk pengangkut sayuran yang baru saja memasuki area pasar, khawatir tidak akan mendapatkan jatah panggul.

Bagi sebagian pengunjung, hujan adalah penyiksaan. Karena genangannya menguatkan aroma lumpur dan sayuran busuk. Meski hidung telah ditutup masker, namun baunya tajam menembus bekapan telapak sekalipun. Belum lagi lumpur hitam menjijikan akan mengotori alas kaki dan pemakainya. Maka, mereka lebih memilih merapat di depan ruko-ruko, menunggu hujan agak reda.

Para pengunjung pasar sebagian besar mereka adalah pedagang juga. Membeli sayuran dan bahan lain di Pasar Induk untuk dijual kembali.

Pedagang, tukang panggul, dan pengunjung tak dapat menghindari suasana ini, mereka tetap harus berinteraksi demi kebutuhan banyak orang, tak peduli dengan lumpur dan baunya.

Yulianti, nama gadis bermata juling itu, memilih tetap berada di dalam mushola. Memeluk kedua lututnya, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya pada dinding mushola, mengusir penat sesaat.

Si pemuda yang ternyata penjual tas pinggang keliling, tahu gadis itu baru saja memejamkan mata, menatap lekat memastikan si gadis belum tertidur.

"Teh, kedinginan ya?" Ridwan, nama pemuda itu, berusaha memulai percakapan mengusir sepi.

"Eh, iya." Yulianti gelagapan menjawab pertanyaan Ridwan. Ia membenarkan posisi duduknya.

"Boleh kenalan?" Pemuda berwajah tirus, hidung mancung, dan mata bulat itu mengulurkan tangan, "namanya siapa?"

"Yulianti, panggil aja Yuli." Gadis yang mengenakan potongan t-shirt dan rok celana selutut itu menyambut uluran tangan pemuda berkemeja kotak-kotak merah hitam dengan tiga kancing atas terbuka dan memperlihatkan kaus putihnya.

"Ridwan." Pemuda jangkung itu menyebutkan nama saat tangannya menggenggam tangan gadis manis berkulit sawo matang di hadapannya, meski ia bermata juling.

"Teh Yuli, mau beli apa di sini?"

"Saya bukan pembeli. Saya bantuin bapak jualan karung."

"Oh, saya baru pertama datang ke sini. Eh, malah kehujanan duluan. Jualan saya belum laku satu pun."

Ridwan terus bercerita tanpa diminta, Yuli hanya mendengarkan. Ia tidak terbiasa bicara panjang lebar dengan orang asing. Sesekali ia tersenyum menimpalinya.

Di luar, hujan mulai reda. Para pengunjung yang berteduh mulai menghambur ke toko-toko dan lapak yang dituju. Pasar Induk Cibitung mulai menggeliat  kembali bisnisnya.

Yuli memutuskan kembali ke kios ayahnya yang ada di seberang Mushola, meninggalkan Ridwan dengan barang dagangannya.

Ridwan memperhatikan langkah Yuli, kios mana yang dituju gadis manis berambut panjang itu.

Keesokan harinya, saat Yuli dan ayahnya baru saja membuka gembok yang mengunci rolling door kios karung mereka, Ridwan menyapa dengan semangat.

"Assalamu'alaikum. Perlu bantuan, Abah?"

Pak Arya hanya menoleh ke arah Ridwan lalu mengisyaratkan dengan mata ke arah Yuli, "Siapa?"

"Wa'alaikumussalam. Nggak perlu, Kang. Kami sudah biasa sendiri. Silakan duduk saja." Yuli menyiapkan kursi yang biasa digunakan para pelanggannya saat menunggu pesanan.

Yuli dan Pak Arya terus merapikan kios, mengeluarkan karung dari dalam dan ditumpuk sesuai jenisnya, pada sebuah meja panjang yang disiapkan untuk memajang berbagai jenis karung yang mereka miliki.

Setelah berpamitan, Ridwan berlalu menuju warteg. Tangan kirinya memegang belasan tas pinggang, di lengan kanannya tersampir puluhan ikat pinggang dan jemarinya memegang puluhan topi. Ia berjalan dengan gontai, hendak mengisi tenaga agar kuat berjalan mengelilingi area Pasar yang lumayan luas menjajakan barang jualannya.

Pandangan pak Arya sempat mengekor kepergian pemuda asal Tasik Malaya itu.

"Kamu kenal orang itu?"

"Iya. Kemarin baru kenalan di mushola, Pak." Yuli menjawab pertanyaan ayahnya tanpa menatap pemilik wajah tegas itu. Tangannya sibuk memilah karung sesuai jenis dan ukurannya. Karung goni ia tempatkan di urutan paling ujung disusul karung jarang dan karung biasa.

Sementara ayahnya merapikan kursi, tali plastik, dan menyapu trotoar yang menjadi halaman kiosnya. Kesibukan, membuat mereka melupakan sosok Ridwan.

Senja menutup hari yang sibuk, berganti malam teduh menjanjikan kedamaian. Beberapa toko kelontong penjual sembako sudah mulai tutup. Pembeli pun sudah mulai bisa dihitung dengan jari.

Pasar Induk Cibitung belum benar-benar sepi. Puluhan tukang panggul rapi berbaris di depan gerbang pintu masuk, menantikan truk pengangkut sayuran dan buah yang berasal dari luar kota Bekasi.

Toko Karung Sukses Sejahtera milik ayah Y pun belum tutup. Biasanya akan ada beberapa kampret yang membeli karungnya untuk menempatkan sayuran yang dikumpulkan dari sisa truk atau yang terjatuh dari karung yang dipanggul. Bahkan ada juga beberapa kampret nakal yang sengaja mengambil beberapa sayuran yang tersembul dari dalam karungnya saat sedang dipanggul.

Yuli dan ayahnya akan menutup toko pada pukul 22.00, meski Pasar belum sepi, karena memang Pasar Induk yang menjadi pusat dagangan sayur dan buah se Bekasi itu tidak pernah menghentikan aktivitasnya.

Keesokan harinya, sepulang dari mushola. Yuli mendapati sosok pemuda yang baru dikenalnya itu sedang asyik berbincang dengan ayahnya.

Sejak saat itu, setiap hari Ridwan singgah ke kiosnya satu sampai dua jam. Berbincang akrab dengan ayahnya dari membicarakan filosofi kehidupan, bisnis, sampai keluarga. Yuli hanya mendengarkan sambil melayani pembeli. Matanya sesekali beradu pandang dengan Ridwan.

"Pamit, Bah. Mau nerusin jualan dulu, mudah-mudahan hari ini habis jadi besok bisa pulang kampung ngambil dagangan baru," pamit Ridwan pada sosok setengah baya dengan garis wajah tegas nan berwibawa. Matanya melirik pada gadis yang selalu sibuk dengan karung.

Yuli memberanikan diri menatap punggung pemuda yang telah menumbuhkan rasa aneh dalam hatinya. Walau ia tak pernah terlibat dalam perbincangan, tapi rasanya ia telah dekat seolah dirinyalah yang sedang bercakap-cakap.

"Kamu suka dengan Ridwan?"

Ucapan Paka Arya merusak lamunan Yuli tentang Ridwan.

"Ya, nggak tahu lah. Kan baru kenal," sergah Yuli menutupi kegugupannya.

Jujur, baru kali ini ada pemuda yang mau melirik dirinya. Yuli tahu, mata julingnya telah menjauhkan ia dari pandangan lelaki. Tak ada pria manapun yang tertarik dengan dirinya. Ridwan hadir membawa kesan yang menumbuhkan harapannya sebagai seorang gadis.

"Kalau kamu senang, besok rencanya dia akan bawa kamu pulang kampung, memperkenalkanmu dengan keluarganya sekalian ambil barang dagangan yang baru. Sebelum berangkat besok katanya Ridwan akan mampir dulu ke sini." Pak Arya terus bicara tentang perbincangannya hari ini dengan Yuli tanpa melihat ekspresi wajah putri semata wayangnya.

Saat malam tiba, Yuli menghabiskan waktu berbincang dengan ibunya, perihal Ridwan.

“Menurut bapakmu, Ridwan itu pemuda yang giat bekerja dan juga sopan.” Rosi, ibunya Yuli, memberitahu hal yang ia ketahui dari suaminya. Mereka menyetujui permintaan Ridwan untuk menikahi Yuli. Sekarang semua keputusan ada pada gadis pendiam itu.

“Satu lagi yang disukai bapakmu dari Ridwan, dia sangat menjaga norma akhlak. Buktinya dia tidak mau pacaran, kalau kamu siap, dia akan langsung menikahimu.” Bu Rosi mengelus lembut kepala putrinya, “sekarang istirahat, emak juga sudah mengantuk.”

Dengan pertimbangan bahwa ia telah berusia 28 tahun, akhirnya Yuli menuruti saran orang tuanya. Ia memutuskan ikut dengan Ridwan ke kampung halamannya.

Setelah perkenalan singkat di Tasik Malaya, Ridwan dengan resmi melamar Yuli dan mereka segera melangsungkan pernikahan dalam waktu singkat, hanya tiga bulan sejak pertemuan pertama kalinya di mushola siang itu.

Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh kedua orang tua Ridwan, sanak famili dari keluarga Pak Arya serta tetangga sekitar, berjalan dengan penuh hikmah.

Dua bulan kemudian.

Sudah dua hari ini, Yuli tidak ikut ayahnya ke Pasar. Ia merasa tidak enak badan, kepalanya pusing, dan rasa mual yang tidak bisa ditahan. Jamu tolak angin dan obat maag sudah ia konsumsi, tapi belum meredakan sakit yang dirasa. Suaminya sudah berangkat bersama sang ayah. Sejak menikah, Ridwan tidak lagj berjualan tas, ia memilih membantu Pak Arya berjualan karung.

Ia hanya memilih tiduran di sofa depan setelah membantu ibunya menjemur rengginang yang baru dibuat. Ya, ibunya di rumah memproduksi rengginang. Wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu tak perlu berkeliling menjajakan rengginang, karenan ia membuat rengginang hanya sesuai pesanan. Itu pun terkadang tangan yang tak lagi muda itu kewalahan menerima pesanan.

Ia sedang menahan mual saat ibunya membangunkannya.

"Yul, ini ada surat buat kamu."

"Dari siapa, Mak?"

"Nggak tahu. Nggak ada nama pengirimnya." Ibunya langsung berlalu.

Yuli menatap amlop putih panjang itu dengan penuh keheranan. Baru kali ini ia menerima surat.

Untuk: Istri Ridwan di Kp. Bahagia Rt 10 Rw 02 Kel. Duren Jaya Kec. Bekasi Timur Kab. BEKASI - JABAR.  

Dari: Tasik Malaya.

"Benar tak ada nama pengirimnya," lirihnya.

Ia mulai menyobek bagian ujung amplop putih panjang itu. Tangannya mulai gemetar saat melihat isinya, tak ada surat. Amplop itu hanya berisi 10 lembar foto pernikahan dan dua buah lembar kertas foto kopian buku menikah.

Matanya merah, perih menatap foto pengantin pria yang ada di dalamnya. Badannya langsung lemas saat membaca nama suami dalam foto kopian buku nikah itu.

"Astaghfirulloh, akang Ridwan! Maaak, akang Ridwan!" Kepalanya yang sedang pusing makin terasa berputar, pandangannya mulai menguning lalu gelap dan tubuhnya rebah di atas sofa.

Bu Rosi, tergopoh berlari dari dapur demi mendengar teriakan anaknya.

Karena panik, ia memanggil tetangga terdekat yang kebetulan ketua RT setempat.

Bu Rosi berusaha membangunkan anaknya, dengan menepis-nepis pipi yang mulai chubby itu sambil memanggil namanya.  Sementara Bu RT dan satu tetangga, Bu Dani, sedang sibuk memijat dan mengolesi kaki Yuli dengan minyak kayu  putih.

Bu Rosi mulai membalurkan kayu putih di sekitar lubang hidung Yuli, agar dia cepat sadar. Bu Rosi, Bu RT, dan Bu Dani serentak mengucapkan hamdalah ketika melihat Yuli mulai menggelengkan kepala dan menyebut nama suaminya.

"Ada apa, Yul? Kenapa kamu sampai berteriak begitu?"

"Kang Ridwan, Mak. Dia penjahat!"

Yuli langsung berbalik badan, tengkurap, menyembunyikan wajahnya sambil terisak.

"Kenapa dengan Ridwan?"

Bu Rosi masih belum memahami situasi, ia memaksa membalikkan badan anaknya.

Wajah yang dulu tirus itu, kini mulai chubby setelah dua bulan menikah. Matanya sembab, bulir bening deras mengalir, suara isaknya terdengar memilukan.

"Surat, Mak. Surat." Yuli berusaha menjelaskan sekuatnya di tengah isaknya.

Bu RT mengambil beberapa lembar foto dan kertas yang tadi berserakan di sekitar tubuh Yuli, yang ia simpan di atas tv. Lalu menyerahkannya ke tangan Bu Rosi.

Bu Rosi memandangi foto-foto itu, sampai tak mampu berucap. Ia memeluk anaknya dan menangis bersama.

Bu RT merampas benda itu dari genggan Bu Rosi dan memperlihatkannya ke Bu Dani.

"Astaghfirullohal 'Adzhiim. Nggak nyangka saya. Bajingan juga ternyata si Ridwan itu. Pantas waktu dimintai foto kopian KTP untuk kelengkapan surat numpang menikah oleh suami saya, dia beralasam KTPnya hilang. Pembohong ternyata!" Bu RT ikut geram. Ia sudah menganggap keluarga Bu Rosi sebagai keluarganya sendiri, karena mereka sudah bertetangga lebih dari 20 tahun.

Malam ini terasa lebih panjang dan  dingin. Kedua tangan Yuli selalu dirapatkan di dada untuk mengusir dingin yang menyergap. Bu Rosi memeluk pundak putri tunggalnya dari samping, sambil sesekali mengusap air mata anaknya yang masih terus mengalir.

Mereka berdua duduk di sofa menunggu kedatangan suami. Dihadapannya, sebuah meja beralaskan telapak dari kain batik, Yuli meletakkan tumpukan foto dan kertas foto kopian yang akan menjadi bukti  atas suatu kebohongan.

Suara kunci diputar dari luar, tanda para suami kedua perempuan yang sedang terduduk itu pulang. Bahkan sampai pintunya terbuka pun tak membuat keduanya beranjak. Mereka bergeming di kursi. Hanya Bu Rosi yang menolehkan kepala ketika nama mereka disebut oleh suami masing-masing. Sementara Yuli, malah menelungkupkan wajahnya ke bawah dan menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Isaknya makin kencang.

"Ada apa ini?" Pak Arya kebingungan dengan situasi ini. Ia hanya berdiri menatap istrinya.

Sementara Ridwan  berusaha menghampiri Yuli dari samping kiri. Tangannya ditepis saat berusaha meraih pundak istrinya.

"Dasar pembohong! Jangan sentuh aku!" Matanya merah menyalak menandakan amarah telah memenuhi jiwanya. Wanita yang biasanya bertutur lembut itu berubah beringas, suaranya tinggi memekakkan telinga. Ridwan  kaget dibuatnya.

Bu Rosi segera melemparkan beberapa lembar foto ke wajah Ridwan. Ridwan dan Pak Arya memunguti foto yang berserak. Lalu menyusul lembaran foto kopian buku menikah.

Ridwan tak mampu bangkit setelah memandangi foto itu, sebaliknya, Pak Arya langsung naik pitam. Dia mencengkram kerah leher kemeja Ridwan, lalu menampar pipi kiri dan kanannya, bolak-balik hingga amis darah menguar dari tetesan darah di kedua ujung bibir Ridwan. Mendorong tubuh ringkih itu hingga tersungkur di lantai. Seakan belum puas, ia tarik lagi lengan kurus itu hingga badannya tegak. Lalu satu tinju mendarat di perut, pipi, dan badan menantunya. Beberapa benda terjatuh, bahkan tv pun bergeser hampir jatuh dari tempatnya. Suara gaduh itu pasti terdengar ke luar, tapi tak ada yang berniat mendatangi rumah Pak Arya. Karena berita tentang Ridwan langsung tersebar setelah Bu RT dan Bu Dani pulang dari rumah Bu Rosi.

Pak Arya ngos-ngosan, punggung telapak tangannya sedikit lecet dan berdarah setelah menghajar Ridwan. Pak Arya terduduk lemas bersandar di dinding. Matanya nanar menatap pemuda yang telah membohongi putri dan keluarganya.

Di sisi lain Ridwan pun terduduk lunglai tak berdaya, wajahnya memar menerima pukulan dan tamparan bertubi-tubi, ujung bibir dan hidungnya  mengeluarkan darah, telinganya terasa berdenging. Tapi ia terlihat pasrah, tak sedikit pun tadi Ridwan melawan atau menghindari pukulan dan tamparan Pak Arya. Ia mengaku bersalah.

Rumah yang semula ribut, tiba-tiba hening. Tak ada suara, hanya mata menatap pada satu sosok dengan penuh kebencian. Ridwan.

"Abah, Emak, Yuli. Saya minta maaf. Saya mengaku salah." Ridwan mengelap cairan kental berwarna merah yang keluar dari hidungnya dengan pangkal lengan bajunya.

"Saya memang sudah menikah dengan Meli, seperti yang ada di foto itu lima tahun yang lalu. Meli wanita cerewet dan tamak. Saya tidak kuat lagi bersama dengan dia."

Ridwan pun mulai menceritakan kisah pernikahannya dengan Meli.

Setiap dia pulang yang selalu ditanyakan adalah jumlah pendapatannya, bukan kabar atau kesehatan dirinya. Meli kerap marah-marah bila hasil penjualannya sedikit. Bahkan dari awal menikah, Meli sudah berKB agar tidak hamil karena takut miskin, takut tidak mampu membiayai anak-anaknya kelak.

Masalah anak inilah yang tidak dapat diterima oleh Ridwan. Bahkan Ridwan mengancam akan menikah lagi jika Meli tidak melepas KB. Ia sudah memberi waktu setahun pada istrinya, kedua orang tuanya pun telah ia beritahu. Tapi memang Meli keras kepala, ia malah menantang Ridwan.

"Maafkan akang, Yul." Ridwan berusaha bangkit, lalu mendekati istrinya, dan memeluk lututnya.

Yuli bangkit, pindah duduk ke sofa bagian lain. Ia tak ingin disentuh lagi oleh pria pembohong itu.

Ridwan hanya  menatap istrinya dengan tatapan yang entah, "Yul, akang bener-bener menyayangi kamu. Akang suka dengan kesederhanaan kamu, akang suka dengan kerja keras kamu, akang suka dengan sikap berbakti Yuli. Akang bener-bener sayang sama keluarga ini." Ridwan bertutur kembali, kali ini suaranya sedikit parau dan tercekat. Ia berusaha menahan isak yang sudah memuncak.

Yuli tak menjawab, ia bangkit menuju kamar, membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Ridwan yang terisak sendiri di ruang tamu.

Pak Arya dan Bu Rosi pun memasuki kamar mereka. Tinggal Ridwan seorang diri memunguti foto yang berserakan dan merobek-robeknya, sambil memaki wanita yang bersanding dengan dirinya dalam foto itu. "Wanita iblis! Wanita sialan!"

Dini hari sebelum subuh,  Yuli sudah keluar kamar. Ia melempari semua pakaian suaminya ke badan pria yang sedang meringkuk di sofa.

Ridwan terbangun. Ia memunguti pakaiannya yang jatuh di lantai. "Akang izin  sholat subuh di sini ya, Yul. Kalau boleh, akang juga ingin makan masakan Yuli yang terakhir, sebelum akang pergi." Ridwan paham arti pakaiannya dilempar. Tapi ia masih berat jika harus berpisah dengan wanita yang baru dua bulan ia nikahi. Ia benar-benar mencintainya.

Selesai sarapan, Ridwan mohon izin pamit pada semua anggota keluarga. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf.

Yuli  bergeming saat Ridwan mendekap kepalanya dan mencium ubun-ubunnya. Ada sesak dan masih ada cinta di hatinya. Tapi apapun alasan Ridwan, ia tak ingin mendapat stempel sebagai perebut suami orang. Biar dirinya saja yang mengalah, menahan duka mendalam atas cinta yang dikhianati.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, perut Yuli semakin membesar. Rupanya, sakitnya ketika bertengkar dengan Ridwan adalah awal kehamilan dirinya yang belum ia sadari. Ia tak berniat memberitahukan Ridwan, meski ia tahu pasti pria yang masih dicintainya itu akan sangat bahagia. Karena sejak pertama menikah mereka sudah merencanakan punya banyak anak, Ridwan bercita-cita memiliki kesebelasan dalam keluarganya.

Yuli sudah tidak ikut ayahnya ke pasar, ia tak ingin mengenang pria itu lagi. Karena baginya, pasar adalah tempat sejuta kenangan antara dia dan Ridwan.

Setelah melahirkan, Yuli bekerja di sebuah konveksi sebagai tenaga pencabut benang. Karena cuma pabrik itu yang mau memperkerjakan dirinya yang hanya berijazah SMP.

"Yul, kamu besok berangkat kajian kan?" Rara teman kerja Yuli menanyakan kepastian Yuli berangkat.

"Insya Allah. Kamu mau nanyain rengginang kan?" kelakar Yuli.

"Tahu aja kamu. Jangan lupa rengginang hitam dan putihnya masing-masing dua kilogram."

"Siap, Nona cantik." Kedua sahabat itu saling berangkulan sebelum berpisah naik angkot ke rumah masing-masing.

Yuli sekarang berhijab, sejak bekerja di konveksi, ia mulai mengikuti kajian yang disarankan temannya. Ia memutuskan untuk memfokuskan diri pada perkembangan anaknya dan memperdalam agama.

Ia menyadari, ujian pernikahan yang ia terima tak luput dari pengawasan Allah, maka ia serahkan semuanya pada Allah semata. Tak lupa sejumput doa untuk pria yang pernah menjadi belahan jiwanya, semoga ia diberi kekuatan untuk dapat mendidik istrinya ke arah yang benar.

Yuli siap menyongsong hari esok dengan penuh semangat, diiringi doa, dan usaha. Apapun yang terjadi ia akan berusaha tegar demi anak dan orang tuanya. Ia ingin seperti matahari yang tak pernah berhenti berotasi, meski mendung menghalangi cahayanya, meski badai menutupi dirinya, meski malam menggantikan posisinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar